DTMS-10

25.3K 2.3K 20
                                    

Pagi-pagi sekali Naela menerima kabar bahwa Kian dan putrinya dilarikan ke rumah sakit. Ia belum tahu apa alasannya, namun dalam hati sudah bisa menduga, jangan-jangan lelaki itu melakukan tindakan bodoh.

Pukul 08.00, Naela tiba di rumah sakit bersama Fatih. Kian sudah dipindahkan ke kamar biasa, sementara Cahaya masih belum sadarkan diri di ruang ICU. Naela bergegas masuk. Di dalam sudah ada Shindy, Gio, dan Bu Fatma. Ketiganya duduk membisu. Kehabisan kata-kata.

"Apa yang sudah kau lakukan, hah?!" tanya Naela tanpa basa-basi. Ia seperti seorang guru yang sedang memarahi salah satu muridnya yang ceroboh.

Kian tidak seketika menjawab. Wajahnya dipalingkan.

"Kau pikir ini jalan keluarnya?! Iya?! Apa kau tidak mencintai putrimu?" lanjut Naela. "Aku tidak percaya ada lelaki selemah dirimu. Kau bertindak seperti lelaki yang tidak mempercayai Tuhan."

Naela duduk di samping ranjang. Ia perhatikan lelaki yang tidak lagi memiliki cahaya kehidupan di matanya itu. Fatih duduk di pangkuan Naela. Mata bocah itu mengerjap-ngerjap memperhatikan lelaki di depannya.

"Kian, aku berjanji akan membantumu," suara Naela lebih lembut, "tetapi terlebih dahulu kau harus membantu dirimu sendiri. Jangan biarkan dirimu semakin terpuruk. Semua ini ujian dari Allah, atau mungkin azab dari-Nya agar kau mau bertaubat. Bukan hanya kau seorang yang merasakan pedihnya kehilangan. Kau lupa bahwa Allah sudah berkata dengan jelas dalam Al Quran, 'Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?' Kau lupa ayat ini?"

Lelaki itu masih tidak bergumam.

Naela melembutkan suaranya, "Mungkin kau sudah lama tidak menunaikan shalat. Karena itulah kau merasa jauh dari Allah. Selama ini kau menyandarkan seluruh kebahagiaan pada Cyntia, dan ketika Allah mengambilnya, kau pun merasa seluruh duniamu luluh lantak. Kau ingat bahwa Rasulullah salallahu 'alaihi wassalam pun pernah ditinggalkan istri yang paling ia cintai?"

"Sudahlah, Naela. Jangan menceramahiku. Lagipula sudah lama aku hidup tanpa campur tangan Tuhan. Hidup ini akan lebih mudah saat dijalani tanpa campur tangan agama dan Tuhan. Jika Tuhan itu ada, maka lihatlah apa yang sudah Dia lakukan terhadapku sekarang?!" Pria itu mendengus.

Dada Naela terasa panas. Ia paling sensitif pada hal-hal seperti ini. Betapa sombong lelaki yang terbaring di hadapannya.

Hidup tanpa Tuhan?

Ya, mungkin dia mengaku mudah, tapi lihatlah yang terjadi justru kebalikannya. Saat ditinggal pergi sang istri, lelaki itu kehilangan seluruh hidupnya. Bahkan berusaha bunuh diri. Lalu seperti itukah bentuk kehidupan yang lebih mudah menurutnya? Banyak yang melupakan bahwa pada hakikatnya manusia membutuhkan sesuatu yang lebih kuat sebagai tempat bersandar. Dengan mempercayai Tuhan, manusia memiliki tempat untuk berharap dan bersandar. Ia bisa berdoa dan memohon hari esok yang lebih baik. Benar, tidak semua masalah dan beban hidup seketika selesai dengan mempercayai dan patuh kepada Tuhan. Tapi ketahuilah, kepercayaan dan doa adalah nubuat penawar luka, pemberi harapan, dan cahaya yang akan membuat mata hati manusia menjadi lebih terang ketika dihadapkan pada suatu masalah. Semakin besar iman dan cinta seseorang kepada Tuhan, bisa dipastikan semakin tangguh pula ia menjalani pasang surut kehidupan.

"Selamat pagi. Maaf mengganggu." Suara seorang lelaki yang muncul di tengah pintu sontak membuat semua orang menoleh.

Dua lelaki berseragam polisi telah berdiri di sana.

"Kami ingin bertemu dengan Bu Shindy." Salah satu dari mereka berkata.

Wajah Shindy yang tadi santai-santai saja kini berubah cemas. Kedua alis matanya bertemu di tengah. Ragu, tapi ia tetap melangkah dengan percaya diri. "Iya, saya Shindy."

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang