DTMS-21

23.4K 2.2K 16
                                    

Seperti hari-hari lain, Naela bangun saat alarmnya melengking-lengking pada pukul 03.30. Ia ambil air wudhu kemudian menunaikan shalat tahajud delapan rakaat dengan empat salam. Ia mulai rutin tahajud sejak jaman pesantren dulu. Semasa kuliah di Michigan tahun pertama, ia sempat menempati apartemen dengan enam orang mahasiswi internasional. Hanya dirinya yang Muslim. Melihat ia yang setiap hari bangun pagi bahkan sebelum Subuh, teman-temannya selalu berkomentar. Mereka berpendapat kalau Islam adalah agama yang sangat sulit dan membuat penganutnya capek.

"Dalam satu hari, aku melihatmu shalat yang katamu wajib itu sebanyak lima kali di lima waktu pula. Belum lagi ditambah dengan kegiatanmu membaca kitab suci dan shalat di pagi buta saat semua orang masih tidur. Pernah kuhitung jumlah berdirimu saat shalat pagi buta itu, terkadang empat, delapan, pernah juga sebelas. Bukan cuma itu, aku juga lihat kamu duduk di atas karpet kecil itu dengan sangat lama, wajah tertunduk, dan bibir membaca mantra. Apa kamu tidak lelah? Sebaiknya kamu cukupan istirahatmu paling tidak sampai jam enam pagi. Begitu lebih baik. Kau butuh tenaga cukup untuk menghadapi kuliah tahun pertama yang membuat aku saja sulit bernapas. Padahal bahasa Inggris adalah bahasa yang kupakai dari kecil. Apalagi kamu yang bahasa Inggris saja masih belum oke. Jadi lebih baik, besok kau tak perlu lagi sembahyang begitu banyak. Sekali saja kurasa cukup. Tuhanmu pasti memaklumi kesibukanmu." Ini adalah celotehan Caroline, mahasiswi berambut pirang, ramping dan jangkung, berasal dari Bristol, Inggris.

Mendengar ucapan temannya yang memang banyak bicara, Naela hanya tersenyum. Ia maklum kalau Caroline tidak mengerti. Jangankan soal Islam, tentang agamanya sendiri saja ia tidak paham. Ia mengaku menganut agama tertentu, namun ia pernah memberi tahu kalau tak tahu apa-apa soal agamanya. Bahkan berdasarkan penuturan Caroline, sejak umurnya lima belas, ia tak pernah lagi mendatangi tempat ibadah.

"Aku merasakan manfaat dari semua ibadahku, Caroline. Dan rasa ini sama seperti rasa manis pada permen yang sedang kamu makan itu. Tidak bisa dijabarkan atau didefiniskan sama sekali. Ketika kita sudah punya kepercayaan dalam hati, bahwa semua ibadah yang kita lakukan adalah bentuk perhatian Tuhan, agar kita selalu dekat dengan-Nya, mengadu pada-Nya sesering mungkin, saat itulah kita akan merasakan bahwa ibadah yang kita kerjakan ternyata sangat nikmat. Bahkan jadi candu dan kita akan selalu menanti waktu datangnya. Dan Tuhanku telah menyiapkan shalat di waktu lain selain waktu wajib tersebut, itulah yang disebut dengan shalat sunnah. Seperti yang sering kulaksanakan di pagi buta. Menurutku shalat sunnah ini ditujukan untuk mereka yang selalu merindukan shalat. Jadi tidak ada paksaan untuk dikerjakan. Kita melaksanakannya semata-mata karena keinginan sendiri, karena kita begitu merindukan-Nya dan tidak sabar dengan datangnya waktu shalat wajib."

Caroline mendengarkan khidmat. Tak terasa permen yang ada dalam mulutnya sudah habis. Dan ia ambil satu bungkus lagi dari toples di atas meja.

"Jadi kurasa agamaku tidak pernah membuat ummatnya kelelahan hanya karena ibadah. Setiap hari aku melaksanakan shalat sunnah saat kamu masih tertidur pulas. Kalau dipikir akal, pagi hari aku pasti sudah ngantuk dan tertidur di kelas. Tapi sejauh ini, aku bisa kuliah seharian dengan baik-baik saja."

Kening Caroline berkerut. "Tapi..." katanya sambil mengenang sesuatu. "Ketika high school dulu, aku sekolah di boarding school. Di sana aku juga satu kamar dengan gadis Muslim asal Bosnia. Kuperhatikan dia tidak shalat sesering kamu. Apa semua Muslim rindu shalat sepertimu?"

Naela menggeleng. "Tidak semua, Caroline sayang. Bahkan banyak di antara kami yang menganggap shalat adalah beban yang diturunkan Tuhan pada ummat-Nya. Mereka beranggapan shalat hanya mengurangi waktu kerja dan waktu istirahat. Hmm ... begini, selama ini apa pelajaran yang paling kamu cintai?"

"Actually I hate all of the subject study here. Ini semua gara-gara Ayahku yang paksa aku belajar hukum." Keluhnya dengan wajah sebal. "Tapi aku pernah ikut kursus fashion designer, and I think fashion is my passion. I love it too much." Kali ini ia sudah berubah ceria. Seperti ada bunga-bunga yang bermekaran di wajahnya.

"So, ketika kamu diberi tugas seperti membuat desain baju pesta, apa kamu kerjakan?"

Anggukan Caroline penuh semangat. "Tidak hanya kukerjakan. Aku bahkan menanti tugas-tugas diberikan lebih banyak. Aku selalu suka membuat desain pakaian. Nanti usai liburan akhir semester, aku akan bawa buku desainku untuk kau lihat."

Naela mengangguk. Sepertinya temannya itu masih belum paham. "Okay my dear Caroline, jadi semua teman kursusmu mengerjakan tugas itu dengan baik?"

"Tidak semua." Jawabnya seraya menggeleng. "Temanku yang bernama Jane sama sekali tidak paham soal fashion. Padahal buku panduan berlimpah dimana-mana, belum lagi guru kami sangat giat membimbing. Dia tidak cinta fashion. Banyak tugas yang tidak dikerjakan. Kalaupun mengerjakan, hasilnya sangat buruk. Yaa, it was because she didn't love fashion anymore."

"Nah." Naela berseru. "You got my point. Begitu juga dengan ibadah shalat dalam agamaku yang sering kau herankan itu. Banyak dari kami tidak mengerjakan, because they don't love God anymore."

Mulut Caroline terbuka selama beberapa saat. Kemudian dengan wajah seperti baru menemukan harta karun, tepuk tangannya terdengar. Sejak hari itu, Caroline tak pernah mempermasalahkan soal shalat lagi. Ia bahkan hapal dengan jam-jam shalat. Ketika waktu shalat tiba dan ia sedang bersama Naela, seringkali ia menunjuk jam tangannya, memberi tahu kalau sekarang waktunya untuk Naela shalat.

Naela selalu tersenyum apabila teringat masa-masa kuliah di luar negeri. Terutama pada tingkah para teman-temannya yang sering merasa heran dengan ajaran Islam. Namun sudah ketentuan dari-Nya bahwa bersama kebahagaiaan juga ada kesedihan. Tidak semua kenangannya selama bersekolah di luar negeri adalah kenangan indah, bahkan kenangan terburuknya juga didapat selama tiga tahun di negara orang. Kenangan yang kalau bisa, ingin sekali ia lenyapkan dari memori hidupnya.

Naela beranjak dari atas sajadah, mengambil mushaf kecil berwarna hijau yang dilengkapi terjemahan. Ia buka surat Al-Waqiah, dibacanya hingga selesai. Setelah shalat Subuh dan membaca dzikir pagi, Naela perbanyak membaca istighfar, laa haula wa laa quwwata billah,  hasbunallah wani'mal wakil dan Ya Hayyu Ya Qayyum.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang