DTMS-23

24.6K 2.3K 64
                                    

"Naela Alfiatul Husna. Sudahlah. Kali ini alibi di pihakmu lemah sekali. Daripada kita buang-buang waktu, lebih baik jika kita mendengar langsung kesaksian dari Bams. Kupikir kesaksiannya cukup kuat untuk digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dewan hakim." Lagi-lagi Kris tersenyum meremehkan.

Kris meminta ijin pada hakim untuk menghadirkan Bams. Pemuda yang hari ini ia mengenakan celana jeans warna biru dan kemeja hitam itu segera berdiri dan maju ke tengah persidangan. Tubuhnya panas dingin. Ini adalah pengalaman pertama bicara di tengah pengadilan.

"Hmm ...." Bams coba mengatur napas. Sejenak ia melihat Rais yang tengah tersenyum puas. Asisten Kian itu sepertinya telah merasa aura kemenangan.

Bams melanjutkan kesaksian, "Siang itu sekitar pukul dua siang, saya yang bertugas di pos melihat Nyonya Shindy masuk ke rumah. Setengah jam kemudian, Nyonya Shindy keluar dengan tergesa-gesa. Wajahnya panik dan marah. Ketika saya sapa, Nyonya Shindy tidak merespon sama sekali. Lalu pada pukul empat sore, terdengar keributan dari dalam rumah. Ini saja, Yang Mulia." Sekuriti itu mengembuskan napas lega.

Selanjutnya ia disumpah dengan bersaksi kepada Allah. Ia terlihat santai-santai saja. Justru dada Naela yang terasa perih melihat betapa tenang pemuda itu membawa nama Allah untuk perkara dusta.

Persidangan ini mulai terlihat ujungnya. Kemenangan seperti sudah mutlak berada di pihak Kris. Wajar saja jika sejak tadi, jaksa penuntut itu merasa terbang di atas angin. Ketika Naela melihat ke arahnya, Kris mengerjipkan mata, seolah berkata, "Akulah pemenangnya, Naela."

Sementara Naela merasakan keringat dingin yang mengalir di leher. Berkali-kali ia melihat Mariam yang juga panik. Mariam terlihat berkali-kali coba menghubungi seseorang, tapi selalu saja gagal. Pada akhirnya Mariam hanya bisa menggeleng pasrah.

Naela duduk bersandar tanpa semangat. Ia seperti kehilangan satu-satunya harapan. Shindy yang duduk di tengah semakin menunduk. Kini penjara sudah terlihat jelas di matanya. Ia bahkan tidak sanggup untuk sedikit saja mengangkat kepala.

"Ehm!" Hakim berdehem, meminta perhatian. Untuk beberapa saat pandangannya menyapu seluruh ruangan. "Selanjutnya saudara Jaksa Penuntut bisa mendatangkan alat bukti."

Kris berdiri sigap. Seorang lelaki dari tim jaksa penuntut maju untuk mengantarkan sebuah bantal yang telah diamankan sedemikian rupa. Sementara Kris bersiap menjelaskan cerita di balik bantal tersebut.

"Itu adalah bantal yang digunakan terdakwa untuk menghabisi korban. Seperti laporan pihak penyidik bahwa korban tewas akibat dekapan bantal hingga kehabisan napas. Pihak penyidik juga telah melakukan tes sidik jari, dan hasilnya positif di sana ada sidik jari Shindy! Sekarang sudah jelas, Yang Mulia. Wanita inilah pembunuhnya dan dia pantas dihukum berat karena telah melakukan pembunuhan dengan sengaja!" Ujung telunjuk Kris teracung menunjuk Shindy.

"Semua ini bohong, Yang Mulia. Bahkan saya tidak pernah menginjakkan kaki di kamar Cyntia." Shindy berdiri dengan mata berkaca-kaca. Kali ini ia sudah tidak tahan lagi dengan tuduhan yang jelas sekali dikarang oleh seseorang.

"Baiklah." Hakim menutup map di depan. Ia memberi jeda untuk memerhatikan Naela yang tampak resah. Setelah menunggu dan tak ada tanda-tanda Naela akan kembali membela terdakwa, ia melanjutkan putusan. "Pada sidang kedua ini kita sebenarnya sudah bisa melihat dengan jelas siapa pelaku pembunuhan ini. Sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap terdakwa," ucapnya tanpa sedikit pun mempedulikan teriakan Shindy barusan.

Pintu ruang persidangan itu terbuka. Seorang petugas masuk dan mengatakan bahwa ada seseorang yang memaksa masuk.

"Orang ini memaksa ingin bertemu dengan Mbak Naela," ucap petugas tersebut.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang