DTMS-06

31.8K 2.5K 28
                                    

***

Pukul 10.30 Naela dan Mariam sudah kembali ke kantor. Mariam langsung ke kubikel, sementara Naela harus menemui Pak Jamal di ruangan lain. Kata Deen, Pak Jamal mencari Naela dua jam lalu. Beliau titip pesan agar Naela segera menemuinya apabila telah kembali ke kantor. Sejak persidangan kemaren, Naela memang belum ada bertemu Pak Jamal.

"Assalamualaikum. Selamat pagi, Pak," ucap Naela di depan pintu.

Pak Jamal yang semula sibuk menulis seketika melihat ke arah tamunya. Dia mempersilahkan Naela masuk seraya tersenyum. Laki-laki yang hampir kepala tujuh itu sudah dianggap Naela seperti seorang ayah. Nasehat-nasehatnya yang tak pernah kehabisan tiap kali mereka berbincang, dan sorot mata teduh yang selalu menenteramkan di balik kacamata minusnya. Meskipun sekarang Pak Jamal sudah tidak pernah terjun langsung menangani perkara hukum, Naela tetap sering bertanya banyak hal pada Pak Jamal terkait perkara-perkara yang ia tangani. Laki-laki itu memang tak langsung memberikan solusi, namun ucapannya selalu membuat Naela lebih tenang dan akhirnya bisa menemukan jalan terang.

"Bapak sehat?"

"Ya, alhamdulillah. Seperti yang kamu lihat, Nae. Dari wajahmu yang cerah, Bapak sudah tahu kalau kamu juga sehat sentosa. Bagaimana sidang kemarin? Bapak dengar kamu kedatangan saksi yang tak terduga. Benar begitu?"

Naela tersenyum. Wajah Bu Zainab melintas di kepalanya. Bu Zainab adalah istri pengusaha yang kemarin menjadi lawan di persidangan. Naela hampir saja menyerah di pengujung persidangan, hingga kemudian Bu Zainab datang dan membeberkan semua kebusukan sang suami, bahkan membawa beberapa alat bukti.

"Naela tidak menyangka Bu Zainab mau membeberkan semua kejahatan suaminya. Saya tidak pernah berpikir benar-benar ada wanita setegar itu di dunia ini."

"Banyak kisah wanita tegar yang bisa kamu ambil hikmah dari kisah mereka, Nae. Kalian para wanita itu sesungguhnya punya ketegaran jauh di atas laki-laki. Kekuatan yang sangat berbeda dengan yang dimiliki para lelaki, namun kebanyakan tidak menyadari. Kalian lebih percaya dengan anggapan umum yang berkata bahwa wanita itu lemah. Kalian larut di dalamnya, dan menjadikan anggapan tersebut sebagai alasan ketidak mampuan. 'Wanita itu lemah, titik! Jadi wajar saja kalau aku tidak sanggup. Wajar saja kalau aku menangis. Wajar saja kalau aku menyerah'.

Banyak hal lain lagi yang kalian wajarkan karena anggapan tersebut. Bayangkan andai Hajar menganggap dirinya lemah ketika ia ditinggalkan di padang gersang bersama Ismail yang masih bayi. Akankah ia berlari ke sana ke mari demi mendapatkan air? Akankah kota Mekah menjadi pusat perkumpulan Muslim sedunia seperti sekarang? Tidak, Nae! Kalau Hajar sama dengan wanita yang menganggap dirinya lemah, ia pasti akan menangis tersedu-sedu sejak awal, sejak Ibrahim akan meninggalkan mereka. Ia akan menarik kaki suaminya dan memohon agar tak ditinggal. Dan Mekah tetap sebagai gurun pasir yang gersang. Jadi wajar saja kalau Bu Zainab punya kekuatan sebesar itu.

Bapak yakin, kamu pun memilikinya. Mungkin sekarang kamu belum tahu sekuat apa dirimu, tapi nanti ada masanya kamu tahu. Seorang politisi wanita asal Amerika pernah berkata, wanita itu seperti kantong teh. Kamu tidak akan tahu seberapa kuat mereka, sebelum dicelupkan ke dalam air panas."

Naela mengangguk. Ia bertanya dalam hati, benarkah suatu masa nanti ia akan tahu sekuat apa dirinya? Setegar apa dirinya? Kapankah masa itu? Seberat apakah ujian yang nanti harus ia tanggung untuk mengetahui kekuatannya?

"Setiap masing-masing kita akan menghadapi ujiannya masing-masing, Nae. Hidup ini adalah ladang ujian. Dan yang lulus hanyalah mereka yang mampu bersabar. Itu saja kuncinya. Kamu seorang pengacara, dan sudah kewajibanmu membela sesuatu yang benar. Tapi di luar sana, semakin berjalannya waktu, semakin banyak kebenaran yang kamu bela, ada semakin banyak pula yang membencimu. Itu sudah pasti. Bapak bicara seperti ini karena Bapak tidak ingin kamu kaget saat masa itu datang. Bapak percaya, kamu akan lebih kuat dari yang Bapak pikirkan."

"Seperti apa sabar itu, Pak?"

Sejenak Pak Jamal diam. Tangannya memainkan jenggot yang sebagian besar sudah memutih. "Bapak akan berusaha menyederhanakan. Sabar itu seperti kamu berdoa, penuh usaha dan keyakinan, walaupun kamu sendiri tidak pernah tahu kapan doa itu akan dikabulkan. Namun satu hal yang perlu diingat, semua doa pasti dikabulkan selagi yang berdoa adalah mereka yang memenuhi perintah-Nya dan hatinya beriman."

Anggukan Naela kembali terlihat. Ia ikat kalimat tersebut di dalam hati sekuat mungkin.

"Oh iya, Nae." Pak Jamal membenarkan letak kaca mata sambil salah satu tangannya meraih sebuah map. "Coba kamu pelajari perkara ini. Tadi Deen mengantarkan dua perkara baru. Setelah Bapak baca, sepertinya dua-duanya cocok untukmu. Pilihlah salah satu."

Naela mengambil map tersebut dari Pak Jamal. Ia buka salah satunya dan dibaca sekilas.

Perkara pelecehan seksual?

Sebenarnya ia sudah lama ingin terjun langsung menangani kasus semacam ini. Selain membantu, akan ada juga banyak pelajaran yang bisa diambil. Tapi entah mengapa, rasanya ia sudah menyerah terlebih dahulu. Kasus seperti ini membawanya ke suatu masa yang benar-benar tak ingin diingat. Dan apabila ia bersinggungan langsung, Naela takut emosinya tidak bisa dikendalikan.

Akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual semakin marak. Kalau diamati, berita-berita tertangkapnya para pelaku pelecehan seksual yang ditampilkan di media massa, justru seperti penarik yang lain untuk ikut melakukan kejahatan yang sama. Parahnya, kasus seperti itu banyak menimpa anak-anak. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Bukankah setiap anak adalah lilin-lilin kehidupan? Tapi kenapa cahaya mereka justru redup sebelum sempat menjadi obor di masa depan? Apa yang ada dalam pikiran para pelaku itu?

"Tidak ada hukuman yang lebih pantas bagi laki-laki seperti ini kecuali hukuman mati!" Naela berseru geram, matanya berkaca-kaca. Jari-jari tangannya spontan mencengkeram map itu erat-erat.

Pak Jamal memandang heran, "Kamu baik-baik saja, Nae?."

Naela menghela napas berat.

"Ya di negara ini, hukum untuk kejahatan seperti ini memang kurang tegas. Tidak berefek jera dan menakut-nakuti. Padahal sebenarnya itulah tujuan hukum. Agar yang berbuat tidak lagi mengulangi kesalahan, bertaubat, sementara yang lain akan takut untuk mengikuti jejak kejahatan orang tersebut. Tolak ukurnya kan sederhana, kalau tujuan tersebut tidak mampu dicapai, berarti hukum tersebut gagal. Tapi mau bagaimana lagi, Nae. Kita inikan pekerja hukum, hanya bisa menjalankan sesuatu yang sudah ditetapkan," ucap Pak Jamal lagi.

Naela membuka map kedua. Kali ini kasus pembunuhan istri seorang pengusaha properti cukup ternama. Kejadiannya baru dua hari lalu. Pemberitaan mengenai hal ini sudah dibahas di hampir semua media cetak dan televisi, dan tentu saja sudah banyak pengacara yang menawari diri sebagai pendamping dengan cuma-cuma.

"Mengapa pengusaha ini memilih firma hukum kita?" tanya Naela heran.

"Itu berarti mereka percaya firma hukum kita berkualitas, Nae. Kau tertarik yang ini? Bapak jamin kasus ini akan membuatmu semakin dikenal."

"Bukan soal itu, Pak. Tadi Bapak meminta Naela untuk memilih, dan sungguh, Naela tidak sanggup menangani kasus pelecehan seksual yang ini."

Meski heran, Pak Jamal tidak mau mengorek alasan Naela terlalu jauh. Ia berdehem. "Baiklah. Bapak percayakan kasus pembunuhan ini padamu."

❄❄❄

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang