DTMS-17

22.2K 2.3K 27
                                    

Siang ini matahari bersinar tak kenal ampun di petala langit. Kota Jakarta seperti mengeluarkan uap. Semakin tinggi matahari, udara kian panas, jalanan bertambah padat, dan bunyi klakson semakin kerap terdengar. Bagi yang tidak terbiasa dengan suasana seperti ini, hidup di ibu kota adalah mimpi buruk.

Usai shalat Zuhur di kamar Nur, Naela segera melangkahkan kaki keluar. Ia akan mengantar buku panduan shalat untuk Shindy, kemudian berencana mampir ke rumah sakit. Setelah motor beat warna putih yang ia kendarai masuk ke badan jalan, Naela bisa merasakan keringat yang mengalir dari pelipisnya.

Di kantor polisi, Naela hanya singgah beberapa belas menit saja. Shindy sudah tidak seangkuh dulu lagi. Sebaliknya, ia terlihat berseri-seri begitu tahu yang datang adalah Naela.

"Kak Shindy bisa baca latinnya saja. Kalau belum hapal, Kakak boleh sambil baca. Islam itu tidak pernah memberatkan penganutnya. Yang penting niat Kakak sungguh-sungguh mau beribadah." Ucap Naela sebelum pulang.

"Terimakasih ya, Nae. Kakak minta maaf untuk waktu itu."

"Waktu itu?"

"Saat pertama kali kamu datang ke rumah. Jujur, waktu itu Kakak hanya tidak mau Kian dekat dengan wanita yang salah lagi. Kakak berniat ingin mencarikan pengacara laki-laki untuknya. Tapi sekarang Kakak tahu, kamu bukan wanita seperti itu."

"Iya Naela paham." Naela diam sejenak. "Hmm, Kak. Apa di hari kematian Cyntia, Kakak bertengkar dengannya?"

"Iya." Shindy membenarkan. "Sekitar pukul dua siang. Dari sekolah Junior, Kakak pulang sebentar untuk mengambil peralatan gambar. Hari itu Junior akan ikut lomba di Museum Nasional. Begitu sampai rumah, Kakak melihat Cyntia muntah-muntah di halaman belakang. Dia seperti sedang hamil muda. Ketika Kakak datangi dan bertanya, ia justru marah-marah. Kakak tidak terima dong dimarahi seperti itu. Akhirnya kami bertengkar lagi."

"O, begitu." Naela mengangguk. "Hmm, baiklah Naela tidak bisa lama-lama di sini. Dan ini untuk Kakak." Naela menyodorkan satu kotak pink bermotif petak-petak yang sejak tadi duduk di samping tas.

"Apa ini, Nae?" Shindy membuka kotak itu. "Wah macaroon. Ini kue kesukaan Kakak. Dari mana kamu tahu?"

"Dari Nur."

"Nur?"

Naela tergagap, kemudian tertawa kecil. "Maksudnya Cahaya. Tadi dia makan macaroon lahap sekali sambil cerita kalau Tante Shindy-nya paling suka macaroon."

"Terimakasih ya, Nae. Terimakasih kamu sudi memperhatikan Kakak."

Keluar dari gedung kepolisian, Naela segera meluncur ke rumah sakit Kasih Bunda. Naela tidak mau bergerak lambat. Ia juga tidak mau tetap penasaran sepanjang hari. Entahlah, Naela merasa kebohongan Rais adalah sesuatu yang ganjil. Untuk apa mengaku sudah beristri, jika pada kenyataannya dia seorang lajang? Bukankah hal yang kerap terjadi justru sebaliknya, yaitu para lelaki yang sudah beristri tapi mengaku lajang.

Syukurnya waktu itu Naela sempat membaca nama rumah sakit yang tercantum di amplop. Syukur yang kedua, Naela masih ingat nama rumah sakit tersebut.

"Maaf, Mbak. Sepertinya lelaki ini tidak pernah mendatangi dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini." jawab seorang petugas yang berjaga di depan. Tentu setelah ia melihat foto Rais di layar ponsel Naela. Tidak sulit menemukan foto lelaki itu. Ia sering menemani Kian di banyak acara, dan cukup banyak website berita yang sudah meliput mereka.

"Hmm ... kalau diperbolehkan, saya ingin melihat daftar pasien untuk spesialis kandungan. Hmm, paling tidak untuk dua minggu hingga satu minggu lalu."

"Baik. Mbak bisa lihat di sini." Wanita berseragam putih itu mengeluarkan dua buah map.

Ada ratusan nama wanita di sana. Tentu saja, karena ini rumah sakit ternama. Naela menyusuri satu per satu dan tak ada satu pun yang mencurigakan.

Tapi, tunggu!

Nama seorang wanita di urutan ke-68 membuat jantungnya seolah berhenti.

Cyntia Kurnia Putri.

Ini persis dengan nama lengkap milik Cyntia, mendiang istri Kian.

"Mbak. Ini Cyntia? Cyntia istri pengusaha properti itu, bukan? Yang meninggal sekitar dua minggu lalu?" tanya Naela gugup.

"Oh, Mbak Cyntia. Ia, Mbak. Dia sudah sering ke sini. Sejak mengandung anak pertama, dia sudah jadi pelanggan di sini. Sayang sekali, hidupnya berakhir menyedihkan."

"Dia hamil? Di sini tertulis kalau dia datang ke mari dua minggu lalu? Dia datang kemari pukul 10 pagi, persis di hari kematiannya." Naela tidak percaya.

Petugas itu mengangguk, sekaligus heran dengan sikap aneh Naela. "Dia memang hamil anak kedua. Kalau Mbak ingin tahu lebih detail, bisa kok bertemu langsung dengan dokter spesialis yang menangani. Tapi hari ini dokter itu sedang tidak ada jadwal. Besok Mbak datang lagi saja jam delapan pagi."

"Baik. Terimakasih."

Naela berjalan menuju pintu keluar. Kepalanya berdentum-dentum.

Apa Kian sudah tahu? Dan hasil USG di mobil Rais, apa benar itu milik Cyntia atau milik wanita lain yang namanya ada di antara deretan daftar tadi? Setidaknya kini Naela punya amanusi baru untuk membuat Rais mengakui sesuatu.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang