DTMS-30

22.5K 2.1K 9
                                    

Pagi ini Naela sedang sarapan bersama Umi Dian dan Fatih. Naela membicarakan tentang undangan mengisi seminar yang datang dari universitas Riau. Sudah tiga kali ia terus dihubungi minta kepastian.

Selain dari Universitas Riau, sebenarnya ada puluhan undangan lagi yang belum dijawab Naela. Ada yang dari Makasar, Pontianak, Palembang, dan yang lain masih di sekitar Jabodetabek. Tanpa menimbang apa-apa lagi, Umi Dian segera mengatakan tidak usah. Ia bilang, akhir-akhir ini kegiatan Naela sudah sangat padat. Kesehatan Naela juga harus diperhatikan dengan tidak terlalu memporsir tenaga.

Dua hari terakhir, Umi Dian tidak banyak bicara seperti biasanya. Apa lagi kalau bukan sebab lamaran Yusuf yang ditolak tanpa pertimbangan apapun oleh Naela kemaren. Naela tahu uminya masih belum ikhlas, tapi ia biarkan saja. Untuk saat ini, Naela masih belum sanggup untuk berterus terang mengenai alasan utama atas penolakannya. Tapi Naela sudah bertekad akan bercerita kepada Umi Dian sesegera mungkin.

"Assalamualaikum, Neng Naela." ucapan salam seorang wanita di depan pintu membuat mereka bertanya-tanya. Siapa gerangan yang datang berkunjung di pagi buta seperti ini?

Umi Dian berjalan menuju pintu diikuti Naela.

"Neng Naela, benar ini rumahnya Neng Naela yang pengacara itu?" pertanyaan inilah yang seketika keluar dari lisan seorang wanita berumur 50 tahun begitu pintu dibuka.

Wanita itu mengenakan daster cokelat bermotif bunga-bunga, sandal jepit, dan kerudung bergo yang tidak terpasang dengan benar. Garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah menjalani kehidupan yang panjang dan berat. Begitu pula dengan kantung mata yang menggantung di bawah mata, ia pasti sudah menghabiskan beberapa hari terakhir dengan tangisan.

Naela menggeser pandangan. Tepat di samping wanita setengah abad itu, berdiri seorang remaja wanita berusia sekitar 15 tahunan. Kondisinya jauh lebih menyedihkan dibandingkan sang wanita tua yang tak lain adalah ibu si gadis remaja.

Tatapan remaja itu adalah kekosongan, seolah-olah tak ada satu objek pun yang berhasil tertangkap oleh penglihatannya. Air mata yang menggenang di dalam kelopak mata seperti tertahan begitu saja, tidak jatuh namun tidak juga mau mengering. Ia mengenakan kerudung bergo berwarna pink, namun rambutnya masih banyak yang menjuntai menutupi sebagian wajah. Rok hitam, kaus pink dan switer hitam seperti asal menempel saja di tubuhnya. Naela menerka, baik pakaian maupun kerudung yang ada di tubuh remaja itu pastilah bukan ia sendiri yang memasang.

"Walaikumussalam. Iya, saya Naela yang Ibu maksud. Silakan masuk dulu, Bu." Naela membuka pintu lebar-lebar.

Perempuan 50 tahun itu membimbing anaknya berjalan menuju sofa, kemudian mendudukkan remaja itu di sampingnya.

Naela duduk tepat di hadapan Sang Ibu, "Maaf kalau boleh tahu, Ibu ini siapa dan ada maksud apa mendatangi saya?"

Wanita itu belum menjawab apa-apa, namun air matanya sudah mengucur cepat. Segera ia menyeka dengan tangan. "Panggil saja saya Bu Siti, Neng. Ini anak saya, namanya Fitri."

"Iya, Bu Siti?" Naela memberi isyarat agar wanita itu melanjutkan.

"Tolong kami, Neng. Ibu tidak tahu lagi harus meminta bantuan ke mana selain sama Neng Naela." Bu Siti memulai cerita. Air mata wanita itu semakin deras. Diusap-usapnya punggung sang anak perempuan yang diam seperti patung itu. "Bahkan bapak kandungnya saja tidak peduli pada Fitri, lebih memilih uang dua puluh juta yang dua hari lalu diberi oleh pemuda kaya tidak punya hati itu. Sudah sejak dua hari lalu Fitri dikurung di dalam kamar. Setiap kali Ibu mau mengantarkan makan dan minum harus ijin dulu, Neng. Jangankan disuruh makan sendiri, disuapi saja Fitri tidak mau membuka mulut. Sampai sekarang dia belum makan sama sekali. Tolong kami, Neng, ini bukan masalah mengembalikan kehormatan anak saya yang memang tidak mungkin bisa dikembalikan, ini adalah soal menyelamatkan hidup anak saya. Fitri tidak boleh seperti ini terus, dia bisa mati perlahan-lahan, Neng Naela," cerita Bu Siti sambil sesenggukan. Ia memeluk putrinya.

"Apa Ibu tahu siapa pelakunya?" tanya Naela.

"Dia anak kandidat walikota. Dan yang datang menemui ayahnya Fitri itu abangnya."

Tidak ada tebakan lain dalam pikiran Naela, kejadian yang menimpa remaja perempuan ini pastilah ada sangkut-pautnya dengan pemuda yang datang padanya tempo hari. Jari-jari Naela mencengkeram erat sofa yang ia duduki. Dalam hati ia sangat mengumpat pemuda pengecut itu. Hal murahan seperti inikah yang bisa dilakukan seorang pemuda terpelajar lulusan luar negeri dalam menyelesaikan masalah?

Naela memandangi remaja yang duduk di depannya. Tanpa terasa air mata Naela menetes sendiri. Ia merasakan segala penderitaan remaja ayu itu. Rasa sakit hati, kemarahan, jijik, dan segala macam perasaan yang tidak mungkin bisa disebutkan. Naela bisa merasakan semuanya.

"Fitri ...." Naela berpindah tempat duduk, mendekati Fitri.

Tidak ada respon sedikit pun dari Fitri, bahkan berkedip pun tidak. Hal tersebut membuat Naela semakin sedih.

"Sabar, Fitri. Mereka pasti akan menerima hukuman yang pantas. Jangan takut, Kakak akan menemani Fitri menjalani masa-masa sulit ini," ucap Naela akhirnya seraya memeluk remaja itu.

"Sudah berapa hari Fitri belum makan, Bu Siti?"

"Sejak kejadian tujuh hari lalu. Fitri hanya menghabiskan tiga sendok bubur kemaren sore, Neng."

Naela mengelus kepala Fitri yang tertutup kerudung. Sama seperti pertama kali datang, Fitri tetap diam. Seolah-olah tidak mau tahu dengan segala yang terjadi di sekeliling. Namun Naela sangat yakin, meskipun begitu sebenarnya Fitri mampu mendengarkan semua suara dan pembicaraan orang lain. Pintu untuk menarik gadis remaja malang itu kembali ke jalan yang cerah masih sangat terbuka. Dan itu tidak akan disia-siakan Naela.

Siang hari itu tanpa menunda-menunda lagi, Naela langsung memanggil taksi. Ia bersama Fitri dan Bu Siti segera meluncur ke kantor polisi.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang