DTMS-03

48.4K 3.4K 47
                                    

Waktu baru menunjukkan pukul empat lewat beberapa menit ketika Naela membunyikan bel pintu rumah sederhana bercat putih gading ini. Sehabis dari masjid ia dan Mariam langsung datang ke restoran untuk makan siang. Usai makan, sekitar pukul setengah dua, mereka bertolak ke kantor. Duduk sambil ngobrol di sana hingga jam pulang tiba. Pak Jamal dan rekan-rekan sekantor sibuk dengan urusan di luar, menyisakan kantor yang lengang.

Naela shalat Asar di kantor sebelum pulang. Mariam kembali ke rumahnya di Bintaro Sektor 9, sedangkan Naela kembali ke rumahnya di perumahan Dramaga Cantik, Bogor.

Perjalanan dari Jakarta ke Bogor Naela lakukan sendiri dengan motor beat putih keluaran 2013. Sore seperti ini jalanan luar biasa macet dan menguji kesabaran. Apalagi Bogor sekarang sudah berbeda jauh dengan Bogor beberapa tahun lalu. Tidak ada lagi kota yang sejuk dengan sawah membentang di kanan dan kiri jalan, sebaliknya semua sudah disulap menjadi bangunan ruko dan rumah sakit. Jalanan yang dulu masih sepi kini jadi sangat padat, terlebih saat jam berangkat dan pulang kerja. Bisa macet total! Wajar saja beberapa survei menempatkan Bogor sebagai kota dengan kemacetan nomor dua setelah Jakarta, bahkan beberapa survei menempatkan kota Bogor di urutan pertama.

Tak sampai satu menit Naela berdiri menunggu, pintu kini sudah dibuka oleh Umi Dian. Ibunya.

"Assalamualaikum. Umi sehat?" Naela langsung mencium punggung tangan wanita itu kemudian memeluknya hangat.

"Walaikumussalam. Umi sehat, Nak. Ayo masuk." Seperti biasa Umi akan mencium pipi kanan dan kiri Naela, lalu mengambil alih barang-barang yang dibawa putrinya.

"Sudah empat hari kamu tidak pulang, Nae. Fatih setiap hari tanya kapan kamu pulang."

Naela bertanya di mana adiknya itu sekarang. Ternyata sedang ada hajatan di rumah pak RT, dan Fatih bersama anak-anak lain datang ke sana untuk melihat proses pemotongan kambing.

Umi Dian mengangkat satu panci kecil sup jamur, sup kesukaan Naela. Tanpa diberi aba-aba lagi, Naela langsung memenuhi mangkok. Ia melahap dengan semangat.

"Bagaimana sidangnya tadi? Umi tahu pasti kamu berhasil. Lalu keluarganya Sukarti?"

"Alhamdulillah lancar, Umi. Setiap kesulitan ada dua kemudahan. Setiap yang rumit, selalu ada hal sederhana di dalamnya. Keluarga Mbak Sukarti sudah pulang ke Jember tadi jam tiga. Naela tidak ikut mengantar ke stasiun. Itu di kresek ada oleh-oleh dari orang tuanya Mbak Sukarti. Sepertinya hasil kebun."

"Wah, biasanya hasil kebun dari kampung itu rasanya berbeda kalau sudah diolah. Sini Umi mau lihat dulu. Kamu tambah lagi supnya."

Naela hanya mengangguk, tanpa disuruh pun ia pasti akan tambah sup lagi. Pandangannya mengikuti sosok Umi hingga ke ruang tamu. Sejak sang ayah meninggal 8 tahun lalu, Naela hanya tinggal bersama wanita 64 tahun ini dan Fatih, bocah 5 tahun yang dibawa Naela dari Amerika.

Dari cerita Naela, Fatih adalah putra sahabatnya yang hamil di luar nikah bersama laki-laki tidak bertanggung jawab. Daripada anak itu ditinggalkan di panti asuhan, Naela berjanji akan merawat.

"Lihat ada ubi jalar, kecipir, sama pisang nangka. Wah, sudah lama Umi tidak masak bahan-bahan ini, Nae." Umi Dian menyebutkan nama-nama hasil kebun itu dengan sumringah, kemudian ia angkut kresek tersebut ke dapur. "Nae, kamu tidak mau kenalan sama anaknya Ustad Hussein? Itu lho Si Yusuf yang baru pulang dari Turki." Ditepuknya pundak Naela, kemudian saat Naela memandang, Umi Dian mengerjipkan mata.

"Buat apa, Mi?"

Naela tahu pertanyaan ini pasti akan dijawab Umi dengan penjelasan-penjelasan yang sudah berkali-kali diulang. Tentang umur Naela yang hampir menginjak angka 30, tentang masa depan sang lelaki yang sudah jelas dan alasan-alasan sejenis.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang