DTMS-44

21K 2.1K 15
                                    

Jam di ujung lorong berdentang sebanyak sembilan kali. Sejak tadi malam, Naela masih setia duduk menyendiri sambil berdzikir lirih di sudut ruangan. Nasi yang ditemani tempe goreng dan tumis bayam masih duduk manis di depan, tidak tersentuh sama sekali.

Mata Naela sedikit melebar tatkala terdengar suara pesawat yang melintas, selebihnya ia hanya menerawang kosong.Terkadang ada genangan air di kedua matanya, tapi air itu tak pernah sampai luruh ke pipi.

Teman-teman satu sel Naela silih berganti menghampiri. Mereka mengingatkan Naela untuk bersabar. Tapi entahlah, di saat seperti ini, seperti semua buku, dalil, dan ilmu yang ia miliki menguap tak berbekas. Naela tidak mampu menahan sakit di hati. Ia tak mampu menanggung kehilangan sedalam ini. Seorang anak selama sembilan bulan lebih berlindung dalam rahimnya, begitu dekat dengan dada, kemudian ia rawat sejak bayi merah, lalu ia juga menyaksikan ketika anak itu mulai belajar berjalan dan bicara. Dialah satu-satunya manusia yang paling bahagia menonton tahap demi tahap pertumbuhan Fatih. Lalu bagaimana bisa mereka mengatakan bahwa dia tidak berhak untuk mengasuh anak itu?

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan. Di sisi Allah-lah pahala yang besar." Buk Fatma, seorang tahanan paling tua di sel ini memegang pundak Naela. Buk Fatma memang paling bijak di antara yang lain. Ia selalu menjadi sandaran bagi penghuni sel.

"Sabar, Nak. Sebagai seorang ibu, aku tahu seperti apa rasanya ditinggal anak. Kamu lebih beruntung karena putramu Fatih pergi bukan karena membenci atau berniat meninggalkanmu. Aku punya tiga anak. Dua lelaki dan satu perempuan. Ketiganya sukses. Rumah mereka besar. Mobilnya banyak. Tapi begitu mereka tahu Ibu dipenjara, tak pernah sekali pun mereka yang datang menjenguk. Mereka malu memiliki ibu seorang napi. Dan sejak itulah aku tahu kalau tak ada satu pun dari mereka yang sungguh-sungguh mencintaiku."

Naela menatap Buk Fatma dengan tatapan sendu. Mulutnya terbuka sedikit, seperti ada yang ingin dikatakan, tapi kemudian kembali tertutup.

"Ingat kisah Rasulullah. Ingat bagaimana kehilangan demi kehilangan terus dialami kekasih Allah itu, bahkan sejak ia masih dalam kandungan. Ingat ketika Ibrahim diminta untuk menyembelih putranya. Ingat kisah Al Khanza yang ditinggal syahid keempat putranya di medan perang. Lalu kemudian ia berkata kepada Tuhan-nya, 'Alhamdulillah, Dia telah memuliakanku dengan kematian mereka dan aku berharap kepada Rabb-ku semoga Dia mengumpulkan diriku bersama mereka di dalam kediaman yang penuh dengan rahmat-Nya'. Ingat para ibu yang melihat putra-putri mereka meregang nyawa di ujung senapan dan ledakan ranjau, di Suriah sana, di Palestina. Ujian yang datang padamu sekarang tidak lah sebanding dengan ujian para Nabi dan Rasul, sahabat, dan alim ulama. Jangan merasa dirimu yang paling terdzolimi di dunia ini. Jangan berputus asa. Amalkan Laa ila ha illah Anta subhanaka inni kuntu minadzalimin."

Naela mengulang doa Nabi Yunus yang barusan dilafaskan Bu Fatma, "Laa ila ha illah Anta subhanaka inni kuntu minadzalimin."

Satu titik air mata Naela jatuh. Di saat yang sama, sebuah pesawat melaju meninggalkan bumi Indonesia.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang