DTMS-14

23.6K 2.2K 11
                                    

"Kian yang menyuruhmu ke sini?" Shindy berdiri di depan pintu. Seorang polisi yang mengantarnya telah kembali ke meja. Duduk mengawasi dari kejauhan.

"Tidak. Hari ini Kian sudah pulang ke rumah. Aku bahkan belum bertemu dengannya." Jawab Naela. Ia yang tadi berdiri untuk menyambut Shindy, kini kembali duduk.

"Lalu apa tujuanmu? Sama seperti orang lain yang mencaci-makiku? Atau kau ingin membuat tuntutan agar aku dipenjara 20 tahun, atau mungkin seumur hidup?" Shindy duduk di hadapan Naela. Tertawa getir. Matanya yang cekung itu dikelilingi lingkaran hitam, pertanda bahwa dia telah banyak menangis.

Pada jarak yang tidak sampai dua depa, Naela bisa mengamati wanita di depannya itu dengan leluasa. Shindy hari ini sangat berbeda dengan yang ia lihat pertama kali. Tidak ada make-up tebal juga pakaian bagus. Bahkan rambutnya terlihat berantakan.

Naela menggeleng. "Itulah perintah Kian padaku. Dia ingin Kak Shindy dipenjara seumur hidup. Tapi aku tidak akan menurutinya sampai ada bukti yang jelas."

"Oh Kian. Adik laki-laki yang kucinta." Shindy menarik napas panjang. Ia mendongak, menatap langit-langit ruangan, mengenang peristiwa masa lalu. Naela bisa melihat cinta yang tergambar jelas di mata lawan bicaranya.

Dua wanita itu duduk berhadapan dengan meja sebagai pemisah. Mereka sama-sama diam.

"Aku berumur 6 tahun ketika meminta Mama untuk memberi adik." Shindy mulai bercerita, "Aku sangat iri pada teman-teman yang punya adik, sementara aku hanya bisa menganggap para boneka sebagai adik. Padahal aku juga ingin punya adik yang lucu, yang bisa kuajak bermain, yang bisa kutunggui sepanjang hari, yang bisa kuayun, dan yang bisa kupamerkan pada semua keluarga yang berkunjung.

Impian itu baru terwujud saat umurku 10 tahun. Mama mengandung. Rasanya aku jadi anak yang paling bahagia di dunia ini. Sebentar lagi aku akan jadi seorang kakak. Itulah yang selalu kusiarkan dengan bangga pada teman-teman sebaya, juga pada tante dan om yang bertamu ke rumah. Ketika perut mama mulai membesar, aku sering menempelkan telinga di sana. Tidak ada yang berhasil didengar, terkadang hanya bunyi cacing di perut Mama, tapi aku senang seolah aku telah mendengar malaikat kecil sedang bernyanyi di dalam sana.

Sembilan bulan kemudian adikku lahir. Seorang bayi laki-laki yang menjadi jawaban doa Mama dan Papa. Aku melihat tubuhnya yang merah dan masih terhubung dengan tali pusar. Kemudian seorang suster memandikan dan memberikannya pada Papa. Bahkan suara Papa saat melantunkan azan di hari itu masih bisa kudengar hingga sekarang. Kau tahu Naela, aku menonton semuanya dengan takjub dan bangga. Bagi Shindy kecil, itu adalah hari paling membahagiakan seumur hidupnya.

Adikku itu diberi nama Kian Hartono. Hingga detik ini aku masih belum tahu apa arti nama itu. Kian adalah boneka kecil yang paling kucintai, yang selalu kutunggui dan tak akan kubiarkan seekor nyamuk pun hinggap di kulitnya. Semakin hari, ia semakin tumbuh besar. Jika dulu aku adalah pelindungnya, sekarang situasi telah terbalik. Kian adalah pelindungku. Dia selalu mendahulukan aku daripada teman-temannya. Dan jika ada yang menyakiti atau menjatuhkan air mataku, Kian ada di barisan paling depan sebagai pembela. Begitulah selama bertahun-tahun, setidaknya sampai Cyntia masuk dalam kehidupannya.

Cinta Kian pada Cyntia begitu besar. Ia bahkan ikhlas dirinya didominasi wanita itu. Karena cinta itu pula, ia lebih nurut pada Cyntia dibandingkan aku atau Mama. Adikku itu telah buta karena cinta. Ia tidak tahu betapa sering Mama menangis karena perlakuan semena-mena Cyntia saat dirinya tidak ada di rumah. Wanita itu pintar sekali berakting, dan adikku tidak curiga sama sekali. Karena itulah aku dan Cyntia sering bertengkar. Tapi percayalah, Naela. Sebenci apapun aku pada Cyntia, tidak pernah terlintas sedikit pun dalam kepalaku untuk menyakiti fisik apalagi sampai mendekap wajahnya hingga tewas.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang