DTMS-49

21.4K 2.2K 6
                                    

Hampir satu bulan sudah sejak Fatih keluar dari rumah sakit. Salju masih terus turun sepanjang hari, namun sudah tidak begitu lebat. Fatih duduk di tepi jendela, dan inilah rutinitas barunya.

Kini bocah itu memiliki mata sangat sayu, seperti tidak punya semangat untuk hidup lebih lama. Ia tidak bicara satu kata pun sejak terbangun di kamar rumah sakit satu bulan lalu. Ia sehening hutan-hutan yang mengigil di musim salju.

Setiap hari Jono ikut duduk di tepi jendela, mengikuti ke mana arah Fatih memandang. Meski ia tahu semua berujung kesia-siaan, Jono tetap melakukannya.

Berat badan Fatih turun drastis. Ia tampak seperti anak penyakitan di panti rehabilitasi. Makanan yang masuk ke dalam lambungnya tidak lebih dari dua suap nasi setiap hari. Butuh waktu hingga berjam-jam bagi Jono menanti Fatih mau membuka mulut.

"Seorang ibu sanggup menjadi seorang ayah bagi anaknya. Tetapi seorang ayah, tidak ada jaman yang bisa mengubahnya menjadi seorang ibu. Seorang ibu sanggup menulis puisi tentang anaknya hingga beribu halaman, sementara seorang ayah, paling panjang hanya dua atau tiga halaman saja. Kau bisa hidup bersama ayahmu dengan kebahagiaan berlimpah, Fatih, tetapi jangan harap kau akan mendapatkan seluruh hidupnya untukmu. Laki-laki membagi cinta mereka, sementara wanita menyempurnakan cinta mereka. Saat kau sakit, ibumu sanggup duduk di sampingmu sepanjang hari. Tapi ayah, dia hanya akan menemanimu beberapa saat, meminta dokter paling kompeten untuk menangani, memercayakan keselamatanmu pada mereka, kemudian ia akan pergi mengurusi pekerjaan. Meskipun begitu, satu hal yang harus kauingat, mereka mencintaimu dengan caranya masing-masing; dengan kodrat mereka sebagai laki-laki dan sebagai wanita," ucap Paman Jono suatu sore.

Fatih hanya sebatas mendengar.

Sementara Sam, peristiwa di rumah sakit telah merubah hidupnya. Kini, cinta Sam pada Fatih melebihi segalanya. Entah bagaimana perasaan itu berganti, yang jelas seluruh ruang di hati Sam yang dulu ditempati Katty seorang, kini hanya Fatih yang ada di sana. Sam adalah satu-satunta yang paling tersiksa mendapati Fatih berdiam diri tak ubahnya sebuah boneka.

Sudah enam orang ahli psikologis dan spesialis kejiwaan yang Sam datangkan demi kesembuhan Fatih, namun tak ada yang berhasil. Sudah setumpuk buku ia bacakan untuk Fatih sepulang kerja hingga menjelang tidur, tetapi anak itu hanya bergeming. Bahkan Fatih tidak pernah menatap orang yang sedang berbicara padanya.

"Kau pernah dengar tentang Selective Mutism, Sam?" Seorang doktor psikiatris wanita berumur 48 tahun bertanya pada Sam, setelah ia memeriksa kondisi Fatih. Doktor ini merupakan psikiatris langganan. Namanya Ellen, ia sudah seperti teman dekat bagi Sam.

Sam menggeleng. Matanya tertuju pada Fatih yang duduk di depan jendela.

"Memang ini cukup asing, tetapi kau pasti tahu setelah kujelaskan. Seorang anak yang mengalami gangguan Selective Mutism biasanya akan terus diam dan tidak memiliki hasrat untuk bicara. Mereka tidak bicara karena memang tidak menginginkan. Sebagian anak yang mengalami gangguan ini hanya tidak bicara di tempat yang menurut mereka asing, tidak nyaman, atau menakutkan.

"Misal di sekolah, di pesta, dan keramaian lain. Saat di rumah, mereka akan bicara normal dengan orangtua. Kau mungkin pernah melihat langsung, barangkali menonton di televisi atau film, tentang seorang anak yang hanya diam saat ditanya, bukan? Mereka hanya menjawab dengan anggukan, gelengan, atau tidak merespon sama sekali. Seperti itulah kira-kira."

"Tetapi Sean sama sekali tidak mau bicara. Bahkan denganku."

Doktor itu mengangguk. "Ya, ada juga kasus seperti yang dialami Sean. Mereka sama sekali tidak mau bicara. Gangguan Selective Mutism ini biasanya disebabkan oleh trauma saat mereka belajar bicara, muncul rasa cemas yang terlalu tinggi, dan uhm, kekecewaan yang mendalam. Jika ditilik dari penjelasanmu, Sam, bahwa sebelumnya Sean adalah anak yang aktif berbicara dengan semua orang, kurasa gangguan ini disebabkan karena ia mengalami kekecewaan yang sangat dalam. Misal, ia merasa tidak diperhatikan lagi oleh kedua orang tuanya setelah kelahiran adik baru. Hmm, adakah hal seperti itu yang kira-kira membuat Sean sangat kecewa atau mungkin keinginan besar yang belum kaupenuhi?"

Beberapa saat Sam coba mengingat, hingga kemudian ia berseru kesal. Wajahnya mengeras. Ia marah pada diri sendiri. "Ini semua salahku," akunya dengan suara lemah, "tidak seharusnya aku mengancam dan memarahinya di depan Katty pada malam itu."

"Katty mantan istrimu?" Doktor itu bertanya penuh selidik.

Sam mengangguk.

"Apakah Sean pernah bertemu dengan Katty sebelumnya?"

Sam menggeleng, "Tidak pernah."

"Kurasa itu penyebabnya. Dia kecewa padamu. Sebagai upaya penyembuhan, kau harus aktif memberikan perhatian pada putramu. Buktikan bahwa kamu tidak pernah berniat menyakiti atau membuatnya kecewa. Beri dia penjelasan yang baik. Yang jelas, buat dia percaya lagi padamu."

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang