DTMS-20

22.4K 2.2K 12
                                    

Kamar rumah sakit berukuran 5 x 5 meter itu senyap. Tiga jam sudah berlalu dan Naela masih belum terbangun. Mariam menunggu sambil asik main instagram. Fatih tertidur di sofa. Sedangkan Bu Dian duduk di samping ranjang.

"Umi istirahat saja dulu. Kan dokter sudah bilang kalau kita tidak perlu khawatir pada Naela. Dia hanya sakit kepala biasa." Mariam mendekat pada Umi Dian yang sejak tadi terus berdzikir di samping putrinya.

"Tapi Naela itu nggak pernah sakit kepala sampai pingsan begini, Mariam."

Ya, Mariam juga tahu itu. Selama dua tahun ia bersahabat dengan Naela, tak pernah sekali pun sahabatnya itu mengeluh sakit kepala. Tidak, naela tidak sakit kepala. Mariam percaya itu. Tapi untuk sekarang ia harus menenangkan Umi Dian.

"Umi, biar Mariam saja yang jagain Naela. Lagipula Mariam juga belum mau tidur. Masih banyak nih tawaran endorse yang harus diteliti dulu. Kan Umi tahu, Mariam itu nggak mau sembarang endorse. Harus terjamin kualitasnya."

Bu Dian mencubit lengan Mariam kemudian berjalan ke sofa. Ia duduk di sana sambil membelai rambut Fatih yang tertidur pulas.

***

Pertama-tama Naela merasa seperti menemukan ruhnya, lalu ingin berusaha membuka mata. Berat. Seperti ada perekat yang menyatukan kelopak matanya. Ia coba lagi. Kini matanya berhasil terbuka sedikit. Ia melihat langit-langit berwarna putih, lalu botol infus. Matanya berputar. Seorang gadis di sampingnya tengah menunduk, bermain ponsel. Bahkan gadis itu tidak sadar kalau orang yang ditungguinya sudah bangun. Di sana, sedikit lebih jauh, Naela melihat Sang Ibu dan seorang bocah lelaki tengah tertidur. Ia tersenyum. Bersyukur karena ia sudah berada di tengah orang-orang yang dicintai.

"Mar. Mariam." Panggilnya hampir tidak terdengar. Naela merasakan suaranya tertahan di kerongkongan.

Naela sudah bangun? Oh, sungguh? Tapi kenapa ia bisa tidak tahu? Mungkin Naela sedang mengigau.

Masih kaget, spontan mata Mariam tertuju ke wajah Naela.

Tidak. Naela sama sekali tidak mengigau. Sahabatnya itu memang sudah bangun sekarang.

Mariam tersenyum lebar dan segera membangunkan Umi Dian.

"Dimana ponselku?" Suara Naela belum sempurna terdengar, tapi Mariam bisa menangkap maksudnya.

"Serius kau, Nae? Bangun dari tidur panjang langsung bertanya ponsel?" ucap Mariam sombong sambil mencari-cari ponsel Naela yang tadi ia masukkan ke dalam tas. "Ini. Biar aku saja yang buka. Memangnya ada apa? Di sini cuma ada 18 panggilan tak terjawab, 21 pesan masuk, dan 36 email."

"Buka file perekam suara yang paling akhir."

Sahabatnya itu menurut. Beberapa detik kemudian terdengar rekaman seorang anak laki-laki yang sedang bercerita.

"Ini yang kau maksud? Ini kan suaranya Fatih yang lagi ngoceh. Penting banget, ya?"

Wajah Naela berubah kecewa.

"Sudah kusangka dia telah menghapus rekaman itu."

"Dia siapa? Rais?"

Naela diam dan ini sudah cukup sebagai jawaban untuk pertanyaan Mariam.

"Nae, sudahlah jangan memikirkan pekerjaan dulu. Kamu istirahat lagi saja. Kalau sedang ngurusin sesuatu jangan ngoyo." Umi Dian yang cemas melihat kondisi Naela berkata dengan sedikit memarahi. Khas seorang ibu.

"Mi, Naela ini tidak sakit. Jam berapa sekarang?"

"Sepuluh malam." Jawab Mariam cepat.

Kekesalan di wajah Naela semakin menjadi-jadi.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang