DTMS-18

21.4K 2.3K 13
                                    

"Di hari kematian Cyntia, kamu sungguh-sungguh tidak melihat ada orang lain yang masuk ke rumah? Maksudku selain Shindy pada jam dua," tanya Naela pada Bams.

Security muda itu sedang duduk menonton televisi di pos jaga ketika Naela datang. Dan sekarang, ia memandangi Naela dengan wajah gelagapan. Tidak begitu ketara, tapi Naela bisa mendeteksinya.

Bams tidak seketika menjawab. Ada keterkejutan yang tergambar jelas di wajah pemuda itu begitu pertanyaan Naela selesai diucapkan. Dua detik lamanya ia diam tanpa tahu harus menjawab bagaimana.

"Sungguh, Mbak. Hanya Nyonya Shindy yang masuk. Dia keluar rumah setengah jam kemudian." Jawab Bams akhirnya. Ia tidak berani menatap Naela.

"Kamu tidak bohong kan?"

"Mbak Naela." Keluh Bams. "Aku sudah bilang yang sebenarnya."

"Dan kamu akan bersaksi di pengadilan nanti? Mengatakan pada semua orang kalau Shindy lah pembunuh Cyntia?"

"Lalu masalahnya?" Bams bertanya penuh percaya diri. "Sebatas mengatakan apa yang kulihat, tidak ada yang salah, kan?"

Naela mendengus. "Kamu tahu akibat jika semua itu bohong?" tanya Naela tanpa berniat menakut-nakuti. "Kamu tahu kisah Nayirah dan hubungannya dengan perang Teluk I?"

Dada Bams bergetar. Tak bisa memungkiri, rasa takut menyusup perlahan begitu mendengar pertanyaan yang terkesan memojokkan dirinya.

Tanpa perlu menunggu jawaban Bams, Naela langsung saja bercerita. "Tidak perlu kita bicarakan saat ini sebab musabab perang Teluk secara runut. Secara garis besar Mbak akan ceritakan. Pada tahun 1990 terjadi invasi Irak terhadap Kuwait. Sebab Kuwait punya minyak berlimpah, dan Irak menuduh Kuwait telah mencuri minyak mereka.

Karena Kuwait hanya negara kecil, sementara Irak punya kekuatan militer besar, akhirnya terjadi penyerangan Irak terhadap Kuwait. Kuwait kelabakan. Mereka kemudian minta bantuan Amerika Serikat. Agar publik yakin bahwa Irak pantas diperangi Amerika, dihadirkan seorang remaja belasan tahun bernama Nayirah yang kemudian bercerita tentang kekejaman tentara Irak di rumah sakit Kuwait.

Dalam kesaksiannya, Nayirah mengaku pernah melihat tentara Irak memindahkan ratusan bayi Kuwait dari inkubator dan membiarkan mereka mati di lantai-lantai rumah sakit. Presiden George Bush mengutip cerita tentang inkubator itu enam kali dalam pidatonya. Tujuh senator mengutip cerita itu sebagai alasan untuk pemungutan suara demi memberi Bush kekuasaan atas Perang Teluk. Kekejaman tentara Irak di Kuwait disamakan dengan kekajaman Nazi.

Akhirnya cerita Nayirah dipercayai publik dan Amerika diperbolehkan untuk ikut berperang. Wajah sedih dan isak tangis Nayirah ternyata mampu menarik perhatian seluruh penjuru dunia. Lalu pecahlah perang Teluk, perang besar antara pasukan koalisi Amerika yang dipimpin Bush dan pasukan Irak di bawah pimpinan Sadam Hussein. Kita tidak tahu apa maksud Amerika saat itu, entah benar-benar ingin membantu Kuwait atau karena ada politik lain. Kamu tahu apa yang salah dari kisah yang baru saja teteh ceritakan?"

"Sekilas sih tidak ada yang salah. Wajar dong Mbak hal seperti itu, penjajah memang harus diusir dan diperangi." Jawab Bams lugas. Dalam hati ia begitu bangga dengan jawabannya barusan.

"Wajar, ya? Tapi bagaimana kalau kesaksian Nayirah, gadis 15 tahun itu, hanyalah bohong belaka? Percaya atau tidak, setelah kemerdekaan Kuwait, publik mengetahui bahwa Nayirah adalah putri Duta Besar Kuwait untuk Amerika. Ia bahkan dilatih akting untuk kesaksian tersebut agar mampu menyakinkan publik. Bahkan menurut para dokter di rumah sakit Kuwait selama penjajahan Irak, cerita kesaksian Nayirah hanya dusta." Naela mengambil napas, lalu mengembuskannya pelan.

"Sekarang kamu jangan memikirkan soal siapa yang benar dan yang salah dalam perang itu, atau politik macam apa yang melatar belakangi. Kalau memang ingin tahu silakan cari sendiri di internet, yang ingin Mbak tekankan adalah tentang betapa bahayanya sebuah kesaksian palsu. Seperti kisah Nayirah tadi, hanya dengan akting dan sedikit air matanya, sebuah kesaksian palsu mampu menciptakan perang besar yang menggadaikan banyak nyawa, dan tentunya banyak orang tak berdosa ikut menjadi korban. Dalam sebuah hadis disebutkan, 'Maukah aku kabarkan kepada kalian sebesar-besarnya dosa besar? Itulah syirik, durhaka kepada kedua orang tua, dan memberi kesaksian palsu.'" Mata Naela menatap Bams dengan tatapan tegas.

Masih tidak bisa merespon apa-apa, Bams mengambil satu gelas air putih dari dispenser lalu meminumnya tergesa-gesa. Kemudian ia menunduk, matanya tertuju lurus pada meja dan tak berkedip selama satu menit.

"Sekarang Mbak Naela sudah selesai ngomong?" tanya Bams akhirnya dengan padangan khusyuk ke wajah Naela.

Mulut Naela terbuka sedikit karena tidak habis pikir. Setelah sepanjang itu uraian yang ia ucapkan, pertanyaan semacam inikah yang mampu dikeluarkan pemuda di depannya ini? Tidak adakah yang lebih baik?

"Mbak Naela, kesannya Mbak itu menyindir aku. Seolah-olah aku ini seorang saksi palsu. Aku hidup keras sejak kecil, Mbak. Karena itu semua, jangankan untuk beribadah, mengenal Allah saja aku tak sempat. Dia memberikan hidup yang tak adil untukku, lalu apa gunanya aku menyembah? Jadi kumohon sama Mbak Naela, tidak usah bawa-bawa cerita sejarah dan hadist untukku, tidak ada getarannya sama sekali. Sia-sia!

Apalagi hanya dengan sekali duduk seperti ini. Kuberi tahu Mbak, jaman sekarang orang-orang atas sudah mengajarkan bahwa uang dan kekuasaan yang akan menang, salah satunya dari cerita Mbak tadi, pasti ada faktor uang di balik semua itu. Kita sebagai rakyat kecil ini tinggal tiru saja apa susahnya? Kalau Mbak begini terus, aku tidak jamin umur Mbak bisa sampai angka 30."

Bams berdiri. Dibantingnya gelas ke atas meja. Ia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Naela sendiri.

Pengacara itu beristighfar. Ludahnya terasa pahit. Tidak bisa dipungkiri, ucapan Bams tadi terasa seperti tusukan belati dalam hatinya. Bahkan perihnya masih belum hilang. Sebagai manusia biasa, ia tak mungkin bohong kalau ada rasa cemas dalam hatinya. Mengingat nasehat Pak Jamal, Umi Dian, dan ancaman Bams barusan, rasa takut terasa semakin menghantui. Kembali Naela beristighfar untuk menenangkan diri.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang