DTMS-22

24.4K 2.3K 23
                                    

⚠ persidangan ini belum mengikuti tata cara persidangan yang benar. Maafkan saya belum sempat revisi.

❇❇❇

Sidang pertama kasus pembunuhan Cyntia berlangsung selama satu jam. Tidak banyak perdebatan yang terjadi di sidang ini, karena semuanya lebih terlihat seperti formalitas. Hakim ketua bernama Sulaiman datang bersama hakim senior dan yunior yang tidak begitu dikenal publik.

Kris yang bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan, kemudian Naela sebagai Kuasa Hukum menyampaikan eksepsi (keberatan). Sidang sempat diskors selama 15 menit untuk hakim menentukan putusan sela. Akhirnya setelah dewan hakim bermusyawarah di ruangan terpisah, mereka mengumumkan bahwa eksepsi Shindy baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.

Hari ini sidang kedua yang merupakan sidang pembuktian akan digelar.

Waktu menunjukkan pukul 08.30. Itu artinya persidangan akan dimulai setengah jam lagi. Berkas-berkas sudah disiapkan Naela di ruang sidang. Jas pengacara berwarna hitam tersampir rapi di tangan kirinya.

Naela berdiri di teras gedung pengadilan. Harap-harap cemas akan kedatangan Mariam. Pagi-pagi sekali Mariam sudah ditelepon. Ia ingatkan gadis itu agar jangan sampai lupa untuk mendatangi temannya.

Orang-orang mulai berdatangan. Sayangnya wajah Mariam masih belum kelihatan. Naela kembali melirik jam tangan. Wajah resah yang tadi sempat hilang sejenak, kini kembali terlukis jelas di wajahnya.

"Huh hah ...Nae." Sambil terengah-engah dan memegangi pinggang, Mariam sudah berdiri di depan Naela. Celana panjang warna hitam dan kemeja panjang ungu muda yang dipakainya kusut. Rambutnya diikat ekor kuda, tanpa high heels, dan tanpa make up. Bahkan Naela hampir saja tidak percaya kalau yang berdiri di depanya adalah Mariam.

Sambil terheran-heran Naela bertanya. "Mariam? Kamu baik-baik saja, kan?"

"Aku sih baik-baik saja, Nae." Ia menjawab. Masih berusaha mengatur napas. "Tapi penampilanku buruk sekali. Ini adalah hari yang bisa merusak citra yang sudah kubangun selama puluhan tahun. Kau tahu, bisa-bisa pengikut instagramku berkurang sepuluh ribu orang. Aku keluar rumah dengan kemeja kusut, rambut basah yang tidak sempat dikeringkan, lalu harus diikat acak-acakkan begini. Kakiku juga harus terbungkus sepatu kets yang belum dicuci selama seminggu. Oh ya ampun ...," keluhnya seperti ingin menangis. Naela tahu betapa pintar sahabatnya itu berdrama. Itulah mengapa ia justru mencibir saat mendengar keluhan Mariam barusan.

"Mariam, Mariam!" Naela berkata dengan suara yang lebih tinggi. "Aku tidak punya waktu untuk urusan instagrammu. Jadi sekarang langsung to the point saja. Mana rekaman yang aku butuhkan?"

Mariam mengembuskan napas disertai wajah kecewa. "Temanku itu harus ke Malang sejak dua hari lalu, Nae. Kakeknya meninggal. Kabar baik, pagi ini dia akan mengejar pesawat jam 7. Semoga bisa sampai di sini sekitar dua jam lagi." Wajah Mariam berubah cerah ketika tiba di akhir kalimatnya. Satu hari lalu Naela sempat dibuat cemas karena memory card yang ia amanahkan pada Mariam belum membuahkan hasil. Mendadak kenalan Mariam yang katanya ahli mengembalikan rekaman yang telah dihapus itu tidak bisa dihubungi. Pun saat rumahnya didatangi, ia tidak ada di sana.

"Apa katanya? Apa rekaman itu bisa kembali?"

"Tentu saja."

"Alhamdulillah. Ayo kita masuk. Semoga perjalanannya lancar."

Mereka pun kemudian berjalan beriringan masuk ke dalam gedung pengadilan.

❇❇❇

Pukul 08.55

Ruang sidang sudah terisi penuh. Naela duduk di kursinya sambil mengamati saru per satu orang yang datang. Beberapa menit lalu, Kian datang bersama seluruh anggota keluarga. Hanya Cahaya yang tidak ikut. Lagipula membawa seorang anak di bawah umur ke persidangan bukan sesuatu yang lazim, sekaligus sebuah pelanggaran.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang