DTMS-39

24.5K 1.9K 32
                                    

Pertengahan November tahun ini datang dengan udara yang lebih sejuk dibandingkan tahun sebelumnya. Di kota Bogor, gerimis bernyanyi sepanjang hari, menciptakan genangan di badan jalan, dahan yang berat, payung-payung aneka warna, dan orang-orang yang bepergian dengan jaket hangat.

Satu bulan telah berlalu. Sidang demi sidang telah ditunaikan. Kini tibalah sidang ketiga, sidang terakhir sebelum penentuan keputusan.

Siang ini hujan baru saja berhenti, namun masih menyisakan titik-titik kecil dari langit. Gedung pengadilan negeri Bogor yang berwarna putih gading itu berdiri sepi seperti biasa. Hanya ada lima atau enam buah mobil yang parkir di sudut halaman.

Seorang polisi wanita duduk siaga di samping Naela. Mereka masih di dalam mobil. Meskipun mobil itu sudah sempurna berhenti, Naela seperti tidak ingin beranjak sedikit pun. Bulu matanya tampak terkulai ketika tatapannya menunduk. Ya, Naela tidak sanggup walau hanya mengangkat wajah. Ia tak sanggup melihat gedung pengadilan yang kini sama artinya dengan gerbang perpisahan antara ia dan Fatih.

"Ayo. Mari kita keluar. Kamu sudah ditunggu." Polisi wanita yang ramah ini memegang pundak Naela. Ia tersenyum.

Suara helaan napas Naela terdengar. Napas yang bergetar. Kedua tangan yang terlilit borgol ia rapatkan. Kini Naela bisa merasakan sendiri betapa dingin kulitnya, betapa ia sangat ketakutan.

Dua wanita itu melangkah keluar. Polisi yang tadi bertugas menyetir ikut mendampingi. Kaki Naela terasa berat untuk digerakkan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ini adalah sidang ketiga kasus gugatan hak asuh yang diajukan Sam sebulan lalu.

Naela tahu dirinya benar, dan seperti yang sudah-sudah, seharusnya ia tidak perlu gentar. Namun Naela juga tahu satu hal, pengadilan tidak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Mereka hanya peduli pada saksi dan bukti yang paling kuat. Itu saja. Dan Naela tahu kekalahan sudah pasti akan runtuh menimbun dirinya. Sebentar lagi.

Saat kaki mereka menginjak lantai gedung, udara dingin semakin terasa. Tidak hanya di luar saja kesepian menyelubungi gedung ini, tapi juga pada dinding dan langit-langitnya.

Mereka terus berjalan menyusuri lorong, lalu beberapa pintu, ruangan besar, hingga tiba di depan sebuah pintu bertuliskan ruang sidang. Sejenak Naela berhenti. Ia telan ludahnya sendiri. Ia coba membaca doa, tapi lupa begitu sampai di pertengahan. Kembali ia baca dari awal, dan lagi-lagi lupa, padahal doa tersebut sudah sering ia baca sejak MTs.

Krek.

Engsel pintu yang tidak pernah diminyaki itu sedikit berdecit ketika didorong perlahan. Sudah ada belasan orang duduk di dalam sana. Tatapan-tapan dari dalam segera berpusat ke arah pintu.

Umi Dian dan Mariam juga duduk di sana. Mereka tak berkata-kata. Dari tadi Umi Dian hanya menangis tanpa suara. Lalu ada teman-teman dari Jamal and Partners yang juga menunjukkan wajah sedih dan prihatin. Para petugas pengadilan bersikap biasa saja. Dan satu orang tersisa justru tersenyum, dia adalah Sam.

Hari ini Sam ditemani sahabat setianya, seorang Negro yang dibawa dari Amerika. Nama lelaki itu Jimmy, sang fotografer. Persahabatan Sam dan Jimmy sudah terjalin sejak mereka berkuliah di Michigan. Dan sekarang Sam membutuhkan Jimmy sebagai pendukung.

Selain Jimmy, Sam juga ditemani seorang pengacara Batak yang cukup populer. Namanya Alan Marpaung. Berperawakan pendek dan gemuk. Sebagai nilai plus, Alan sangat fasih bicara. Ia juga terkenal ceplas-ceplos saat mengungkapkan sesuatu di tengah pengadilan.

Sebenarnya Sam merasa mampu menangani persidangan ini, meski tanpa pengacara. Tapi ia sadar UU Amerika dan Indonesia sudah pasti berbeda. Lagipula akan lebih berkesan jika gugatannya disampaikan dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini Sam hanya perlu mengarahkan si pengacara, juga menyiapkan surat-surat yang seharusnya ada.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang