DTMS-28

28.9K 2.2K 23
                                    

Siang ini Naela ada di ruang kerjanya. Ia gunakan waktu untuk membaca deretan email yang masuk. Sebagian besar adalah email undangan. Belum ada satu pun yang dikonfirmasi. Entah mengapa kepalanya masih terus dipenuhi oleh kasus pemerkosaan yang dilakukan putra Pak Gumilang.

Dua hari terakhir Naela merasa dirinya cukup update berita-berita di internet. Biasanya kalau kejahatan seburuk itu diketahui publik, terlebih si pelaku adalah anak kandidat walikota Jakarta, tentu semua web berita menempatkan beritanya di bagian headline. Tapi ini nihil! Berita yang sedang ramai justru seputar pemilihan gubernur yang akan dilakukan dua minggu lagi, termasuk even-even kampanye masing-masing kandidat.

"Apa yang sudah dilakukan Nabastala? Apa keluarga gadis remaja itu sangat lapang dada sehingga merasa tidak perlu lapor ke polisi? Atau bisa jadi mereka bersedia tutup mulut karena ada bayaran yang besar dari laki-laki itu." Naela menerka-nerka sendiri.

"Nae ...." suara Mariam terdengar di depan pintu ruang kerja Naela.

"Masuk, Mariam."

Mariam melangkah masuk dan langsung duduk di sofa, merebahkan tubuhnya di sana. Mariam mengeluh sakit kepala akibat berpikir keras sepanjang hari tentang kasus yang baru-baru ini ia tangani.

"Masih kasus tanah wakaf?"

"Ah, kamu benar-benar tidak perhatian denganku, Nae. Sudah delapan bulan dan kamu masih bertanya tentang kasus tanah wakaf itu? Kau melecehkanku, Nae." Mariam mendengus.

Mendengar itu Naela tertawa lirih. Itu tadi hanya sebuah candaan. Ia sandarkan tubuhnya ke kursi, membiarkan Mariam kembali bicara.

"Tapi memang salahku juga tidak kunjung sempat cerita padamu. Satu minggu setelah kamu ditusuk, masalah tanah wakaf itu selesai. Apa yang kamu tebak dulu memang benar, Pak Roy hanya mengaku-ngaku sebagai anak angkat Pak Mujani. Padahal kenyataannya dia hanya tetangga semasa Pak Mujani tinggal di Medan. Surat wasiat itu tidak benar."

"Lalu kenapa sekarang wajahmu kusut begitu? Apa follower instagrammu tiba-tiba hilang?"

"Bahkan follower-ku sudah mencapai satu juta setengah sekarang. Aku punya kasus baru. Rasanya ingin mengajak Deen jadi asisten, atau menurutmu, aku minta rekomendasi asisten dari Pak Jamal saja?"

"Kalau Deen mau, pilih dia saja. Sekalian supaya dia belajar, biar hidupnya dinamis. Memangnya kasus apa lagi?"

"Berat, Nae." Mariam mengusap rambut kepalanya yang baru sehari lalu dicat pirang. Nazar untuk berkerudung pun masih belum ada tanda-tanda segera dipenuhi. "Aku diminta membela perusahaan yang ingin mengambil lahan milik sepuluh orang petani di Karawang."

Sontak Naela melotot. "Kamu sudah tidak waras, Mariam? Lagi-lagi seperti ini. Seharusnya pekerjaan kita saat ini bisa membantu sesama, terutama rakyat kecil. Seandainya pun tidak bisa, paling tidak kita tidak membuat mereka semakin tertekan. Mereka itu petani, Mariam. Dan kamu masih mau membela perusahaan-perusahaan kapitalis yang kebanyakan serakah itu?" Naela memegangi kepala. Kali ini ia benar-benar kesal pada sahabatnya.

"Mereka menawariku 500 juta untuk mendampingi mereka selama satu bulan saja. Itu jumlah yang lumayan kan, Nae? Lagipula semakin banyak perusahaan yang berdiri di negara kita, semakin maju pula negara kita. Akan ada lapangan pekerjaann baru bagi masyarakat." Mariam membela dirinya seperti tanpa dosa.

"Omong kosong," gumam Naela sambil memainkan mouse. "Kamu pikir kita akan semakin maju? Coba pikir lagi pakai kepala dan hati yang bersih. Kalau lahan mereka diambil, lalu ke mana para petani itu bisa mendapatkan mata pencarian? Sementara perusahaan itu mengeruk kekayaan alam demi menimbun kekayaan pribadi. Menambah angka pertumbuhan ekonomi, kata mereka. Lapangan kerja? Mereka tidak akan sudi merekrut rakyat yang hanya tamatan SD. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan mudah sudah diambil alih mesin.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang