DTMS-09

23.3K 2.2K 22
                                    

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Kian tidak bisa terlelap. Ia membayangkan andai Cyntia masih hidup. Andai wanita itu masih bersamanya malam ini. Tentu mereka akan makan malam bersama, membacakan dongeng untuk Cahaya, kemudian kembali ke kamar ini dan menghabiskan waktu berdua hingga pagi.

Ia mencoba memejamkan mata, namun wajah Cyntia semakin jelas. Ia melihat wanita itu berlari di tengah hamparan ilalang yang berbunga, gaunnya yang berkibar, serta rangkaian bunga yang melingkar di kepala. Ia terlihat begitu cantik. Kian ingin mengejarnya, memeluknya hingga dunia ini berakhir.

"Cyntia. Sayang. Kenapa kau meninggalkanku dan putri kita? Kenapa?!!" Laki-laki itu duduk, memegangi kepala. Keringat sudah membasahi pelipis dan punggungnya.

Selama satu jam ia hanya duduk dan menangis, hingga ia lelah dan jatuh tertidur. Tapi dalam tidur itu, sebuah mimpi menghampiri. Ia bertemu dengan sang istri. Dalam mimpi itu Cyntia menangis tersedu-sedu. Ia merindukan Kian dan Cahaya. Ia juga meminta agar Kian membawa Cahaya untuk menemuinya.

"Bawalah putri kita kepadaku. Aku kesepian. Aku ingin bersama kalian." Suara Cyntia terdengar seperti rintihan.

Lelaki itu terbangun lagi. Ia duduk di pinggir sofa. Detak jantungnya terdengar jelas. Suara Cyntia, ia masih bisa merasakan di telinganya. Ia masih bisa mendengar dengan jelas. Suara itu seperti menggema di kamar ini. Seperti seluruh dinding kamar memiliki mulut dan mengucapkan hal yang sama. Kian menutup kedua telinga, tapi suara itu tetap tidak mau lenyap.

"Apa ini yang kau inginkan dariku?" tanya Kian seorang diri, "kau ingin aku dan putri kita menyusulmu ke alam sana? Benarkah kau sendirian di sana?" Kian sudah mondar-mandir di kamarnya. Sesaat berhenti di depan foto besar yang terpasang di dinding. Foto pernikahan.

"Apa kau sungguh-sungguh kesepian di sana? Benarkah kau yang datang dalam mimpiku tadi?" Ia bertanya sambil membelai wajah Cyntia yang tersenyum dalan foto.

Kian kembali duduk. Ia merasakan dadanya semakin perih. Ia tidak mungkin bisa hidup normal tanpa Cyntia. Tidak akan bisa. Wanita itu segalanya. Ia berdiri, kemudian berjalan cepat menuju meja rias. Tangannya tergesa-gesa menggeledah laci-laci yang ada di sana.

Pil penenang.

Ia mendapatkan satu botol penuh pil yang masih disegel.

Tanpa berpikir panjang, ia keluar kamar dan berjalan menuju kamar putrinya. Gadis kecil itu sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka. Rambut keriwil menutupi pipinya yang halus.

Kian berjalan perlahan, duduk di tepi ranjang, mengelus kepala putri kecilnya dengan penuh cinta dan kesedihan.

"Sayang. Bangunlah." Ia berucap lirih.

Cahaya menggeliat, dan ketika matanya sedikit terbuka, ia melihat Kian ada di sana.

"Ayah?"

"Ssstt... Bangunlah. Kau merindukan bundamu?"

Bocah kecil yang polos itu mengangguk. Tentu saja ia rindu. Sudah tiga hari bundanya tidak pulang, tidak membacakan dongeng, tidak mengepang dua rambutnya, tidak menyuapi, lalu bagaimana mungkin ia tidak rindu? Bahkan tadi sebelum tidur, ia sempat menangis dan bertanya pada Nenek, ke mana bundanya pergi?

"Kalau begitu minumlah ini. Kita akan bertemu bunda." Kian meminta gadis kecil itu membuka mulut. Ia menuntun putrinya meminum pil penenang satu demi satu hingga genap lima buah. Setelah itu ia sendiri minum lima belas buah. Ia berbaring di samping putrinya, memeluk dengan rasa damai.

"Sebentar lagi kita akan bertemu bundamu," ucapnya lirih.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang