DTMS-40

20.8K 1.9K 4
                                    

Naela terjaga sejak dua jam lalu. Ia duduk seorang diri di sudut ruangan. Udara dingin menyusup dari lubang-lubang di atas jendela, menegakkan bulu-bulu halus di tengkuk dan tangan Naela.

Tidak jauh dari tempatnya duduk, dua ekor tikus seukuran kucing sedang berjalan hati-hati menuju tumpukan piring sisa makan malam.

Sebuah tong sampah plastik terguling di lantai, memuntahkan segala isinya yang berbau tengik. Perempuan lain di sel ini sudah tidur.

Suara angin, cicitan tikus, dan dengkuran manusia berpadu menjadi satu irama malam yang kian menyiksa Naela.

Naela mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya yang hanya beberapa puluh menit tadi. Dalam mimpi itu ia melihat dirinya berwajah keriput, berpakaian kumal dengan kerudung penuh tambalan. Ia berbau busuk. Saat dia menyusuri jalanan, yang dalam mimpi itu dipenuhi salju, anak-anak bergerombol di belakangnya, bernyanyi mengejeknya, dan menembakkan peluru plastik ke tubuhnya.

"Orang gila ... Orang gila ...." Anak-anak itu terus mengikuti si wanita sambil berjoget dan bernyanyi. Gigi mereka yang ompong menyeringai.

Di ujung jalan, Naela melihat sebuah rumah putih bertingkat. Sangat indah. Rumah itu memiliki halaman luas yang dikelilingi pagar kayu. Di depan pagar, ada seorang anak lelaki berdiri memandanginya. Naela tersenyum. Anak itu bagaikan rembulan cerah di tengah malam yang pekat. Itu adalah putranya, harapannya, penyelamatnya.

"Fatih ...! Fatih!" Ia berlari, berteriak, bahagia seperti seorang pengemis melihat sepotong roti setelah tiga hari kelaparan.

Tetapi di sana, di depan pagar kayu bercat putih, Fatih bergeming. Tidak bergerak sama sekali. Bocah itu melihat dengan pandangan heran. Matanya yang seperti buah almond mengerjap, dan rambut lembutnya bergoyang.

Naela terus berlari. Begitu akan mengambil sepuluh langkah terakhir, ia berhenti. Seperti ada duri yang menancap di telapak kaki. Bocah di depan sana, putranya tersayang, mundur perlahan.

Fatih tampak ketakutan.

Di waktu yang sama, seorang lelaki berwajah Barat keluar dari dalam rumah. Sejenak pandangannya tertuju pada Naela. Sebuah senyuman tertarik tipis di bibir. Senyuman yang sama artinya dengan ejekan, penghinaan, kemenangan, sejenis itulah.

Tidak ada yang Naela lakukan selain berdiri kaku. Ia melihat Fatih yang berpaling menuju pelukan si lelaki. Ada beberapa patah kalimat yang dibisikkan si lelaki di telinga Fatih. Mereka berdua sekali lagi melihat Naela dengan pandangan penuh prihatin, seolah wanita itu adalah wanita gila sekaligus pengemis yang mengenaskan.

Sedetik kemudian, ayah dan anak itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan pintu pagar yang dihempas angin, terbuka dan tertutup.

Mimpi itu terus menari di kepala Naela. Semakin ia mengingatkan dirinya bahwa mimpi hanyalah sebatas bunga tidur, semakin ia dihantui ketakutan. Ia takut Fatih akan meninggalkannya, melupakannya, atau lebih buruk, anak itu akan membencinya. Sekarang mungkin Fatih belum paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi tak lama lagi, saat anak itu berumur 9 atau 10 tahun, ia pasti akan sangat malu dan Marah begitu tahu keburukan-keburukan Uminya yang menyebar di semua media.

Anak pelacur! Anak pembunuh!

Fatih tidak akan tahan dengan semua itu. Ia pasti akan membenci Naela, menyesali takdirnya karena terlahir dari rahim Naela. Dan di saat seperti itu, Fatih membutuhkan seseorang lain untuknya bersandar. Akankah orang lain itu adalah Sam? Bagaimana jika lelaki itu semakin meniupkan fitnah keji tentang Naela di telinga Fatih?

Tidak, mimpi itu rasanya bukan mimpi biasa. Sebentar lagi mimpi itu akan datang dalam kehidupan nyata, menjadi mimpi buruk yang abadi.

Naela beristighfar. Ia menghapus air mata dan bergegas bangkit untuk berwudhu.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang