DTMS-29

24.9K 2.3K 6
                                    

Malam yang ditunggu-tunggu telah tiba. Naela datang ke lokasi acara yang diadakan di Hotel Inter Continental Jakarta. Ia datang sendirian menyewa taksi. Gamis berwarna biru muda dipadukan kerudung warna serupa membalut wajahnya.

Ia tidak langsung masuk. Tadi sebelum berangkat ia sudah berjanji untuk menunggu Pak Jamal yang datang bersama beberapa advokat yang mewakili Jamal and Partners. Mereka berencana untuk masuk ke ruang acara bersama-sama.

Sudah lima menit Naela berdiri, namun rombongan Pak Jamal belum terlihat sedikit pun. Barangkali terjebak macet, pikir Naela.

Di halaman hotel tersebut ada empat laki-laki dan tiga wanita berpakaian bagus yang baru keluar dari empat buah mobil mahal. Laki-lakinya mengenakan jas rapi, dan para wanita mengenakan pakaian pesta yang mewah namun tetap terkesan profesional. Mereka melangkah masuk dan langsung disambut ramah oleh sekuriti yang bertugas di depan pintu. Dua orang perempuan muda menyambut. Mereka kemudian diantar ke ruangan acara setelah memperlihatkan undangan. Beberapa pengunjung hotel adalah tamu biasa dengan tujuan untuk menginap, ada staf hotel yang menyambut dan mengantar hingga ke depan meja resepsionis.

"Naela? Kenapa berdiri sendirian di sini?" pertanyaan ini sontak membuat Naela menoleh.

Sebenarnya tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang barusan menyapa. Siapa lagi kalau bukan Kris. Dalam hati Naela merutuk sendiri. Nasib apa yang membawanya bertemu Kris.

Malam ini kris mengenakan jins hitam, kaos abu-abu serta jas yang tersampir di tangan. Paling bawah, akan terlihat sandal hitam lusuh yang biasa ia pakai. Rambutnya yang gondrong ikal dibiarkan begitu saja menutupi kening, wujudnya seperti tidak pernah dikeramas selama satu bulan. Naela selalu tidak tahan untuk tidak nyengir jijik tiap kali melihat Kris. Bagaimana bisa ada seorang jaksa berpenampilan seperti itu?

Kris datang bersama seorang laki-laki berumur 30 tahun, temannya di kejaksaan. Kebalikan dari penampilan Kris, temannya ini berpakaian layaknya para pejabat terhormat.

"Dia Naela Alfiatul Husna, bukan? Wah, ada yang sudah bertemu jodoh, nih. Kalau begitu aku masuk duluan ya, Kris? Pak Harahap sudah menunggu. Hai Naela, sampai jumpa lagi di dalam, ya?" Teman Kris menggoda, lalu mengangguk kecil seraya tersenyum ramah. Tanpa menunggu jawaban Kris, ia sudah berjalan menuju pintu masuk hotel. Kris masih berdiri tidak jauh dari Naela.

"Kenapa tidak ikut masuk?" tanya Naela. Suaranya lebih lunak dari biasanya, namun tetap saja masih terdengar datar.

"Aku hanya ingin memastikan tamu spesial Pak Menteri datang dan masuk ke ruang acara dengan selamat. Siapa yang menjamin kamu aman jika berdiri sendiri di halaman begini? Reputasimu memang baik Nae, banyak yang mengelu-elukanmu, tapi ingat bukan berarti orang-orang yang menginginkan kehancuranmu akan hilang secara tiba-tiba. Bisa saja malam ini sudah ada orang-orang yang mengincarmu sejak tadi, berencana untuk menculikmu, membekapmu dengan obat bius mungkin. Jadi, kurasa akan lebih baik kalau kamu ikut aku masuk sekarang."

Dalam hati Naela membenarkan ucapan Kris. Halaman ini terbilang sepi karena setiap tamu yang turun dari mobil langsung masuk ke bangunan hotel. Hanya ada sekuriti yang berdiri di depan pintu masuk, sekitar 40 meter dari tempat Naela berdiri.

"Selama ini aku hanya punya satu musuh nyata, yaitu kamu. Jika orang yang berencana jahat itu benar ada, ia adalah kamu," ucap Naela.

"Terserahlah, Nae. Silakan bilang aku penculik, pembunuh, atau penjagal sekalian. Tidak akan berpengaruh bagi hidupku. Sekarang kamu mau ikut masuk atau tidak? Jika tidak, berdirilah di sini dan buktikan kebenaran ucapanku tadi." Kris memakai jasnya yang semula tersampir di tangan, bersiap untuk melangkah.

"Uhm, a, Kris," panggil Naela cepat.

Kris berbalik. Satu alis matanya terangkat seolah bertanya "Berubah pikiran?"

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang