Jangan memohon, lupakan semua masalah dan mari melanjutkan hidup masing-masing
♡♡♡
Anna tidak berani pulang. Ia tahu pasti bahwa Siska akan mencarinya, tapi sekarang ini ia benar-benar tidak ingin pulang. Ia bingung harus ke mana, apalagi rasa sakit di kakinya semakin bertambah. Darah juga terus mengalir dengan derasnya. Uang yang ia pinjam, atau lebih tepatnya ia ambil dari kamar pria itu hanya cukup untuk ongkos taksi sekali. Seharusnya ia menggunakan bus saja dan sisanya bisa ia beli obat untuk kakinya.
Anna mengembus napasnya dan memilih untuk duduk di bangku kosong yang ada di taman. Ia kembali mengembus napasnya dan rasa sakit mulai menjalar ke tubuh dan selangkangannya. Karena teringat pria itu, ia sampai lupa dengan fakta bahwa sekarang apa yang sudah lama ia jaga hilang sudah.
Ia hampir melupakan hal penting itu, dan kini ia tidak bisa melakukan apa lagi. Ia tidak bisa mengamuk kepada pria itu. Karena memang tidak ada gunanya. Sekarang ini, perlu ia akui, hidupnya sudah benar-benar hancur.
"Nangis lagi?"
Anna mendongak dan kedua matanya langsung dipertemukan dengan mata cokelat yang sudah sangat ia kenali. Mata Evan.
"Ini." Evan yang mengenakan pakaian santai memberikannya sebuah ice cream rasa strawberry. "Kalau kamu nggak ngambil, aku kasih ke anak-anak."
Anna langsung mengambilnya, lagipula ia juga merasa lapar dan mungkin saja ice cream bisa membuatnya kenyang, meskipun makan ice cream di pagi hari sangat tidak baik.
"Thanks, kamu bantu aku lagi," ucap Anna seraya membuka bungkus ice cream-nya.
Sedangkan Evan, ia dengan cepat menghabiskan ice cream-nya dan membuang sampahnya. Setelah itu, ia tiba-tiba berlutut di depan Anna dan menyentuh pergelangan kaki Anna. Itu tentu saja membuat Anna bingung dan terkejut.
"Kaki cewek nggak boleh kaya gini." Evan mendongak dan menjitak kepala Anna seolah-olah mereka sudah berteman dekat. "Lo ini ya, mau sampai kapan gue nemuin lo dalam kondisi yang mengenaskan?"
Anna hanya menatap Evan tanpa berkedip. Ia terus memperhatikan Evan yang mengeluarkan obat dari kresek hitam yang ia bawa tadi. Obat merah itu diteteskannya sedikit ke luka Anna yang mulai membiru karena tidak segera diobati.
"Lo kalau keluar pakai sandal, biar nggak kena pecahan kaca kaya gini."
"Kok kamu tau aku kena pecahan kaca?"
Evan tetap tidak menatap mata Anna saat membalas ucapannya, "Apa sih yang nggak Evan ketahui. Dan ada sedikit pecahannya di sini." Setelah mengobati luka Anna, ia mengeluarkan sesuatu lagi dari kresek itu dan memasangkan sebuah sandal yang baru pada kaki Anna. "Beres. Lo jadi nggak keliatan kaya gembel." Evan tersenyum senang dan berdiri. "Lo mau gue antar atau lo mau di sini dulu?"
Anna tidak langsung menjawab karena ia terlalu fokus atas perhatian Evan kepadanya.
"Nggak usah terpesona gitu, cuma cowok pengecut yang biarin cewek secantik kaya lo menderita."
Lagi-lagi Anna menatapnya tanpa berkedip. Seolah-olah setiap kata yang diucapkan Evan mengandung unsur cinta yang membuat dirinya tidak berdaya.
"Makasih." Hanya itu yang bisa Anna ucapkan untuk saat ini.
"Cuma itu?"
"Terus?" Anna mengerukan keningnya. Ia sampai berpikir bahwa Evan akan meminta balasan. "Kamu mau minta sesuatu?"
Evan hanya tersenyum dan tubuhnya ia tegakkan kemudian ia sejajarkan wajah tampannya dengan wajah cantik Anna. "Cowok sejati nggak akan minta upah, gue cuma mau lo ngerawat diri lo sendiri. Jangan kaya gini, karena gue takut, nantinya lo kenapa-napa disaat gue nggak ada di dekat lo." Evan menegakkan kembali tubuhnya dan mengulurkan tangannya. "Ayo, gue antar pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Annasya Kyle
RomanceKlise. Pertemuan gadis miskin dengan pria kaya. Namun, ini bukan bagaimana takdir menguji cinta mereka, tapi bagaimana Takdir mengatur beberapa orang untuk terlibat dalam masalah. Bagaimana takdir membuat Annasya Kyle berada di tengah masalah itu.