26. Truth

4.6K 191 1
                                    

Typo bertebaran, happy reading.

***

"Kamu udah lama nunggu?" Lenuel mengusap kepala Nia dan tersenyum penuh kelembutan seperti ia menatap Sia tadi.

"Liat nih kaki aku pegel banget berdiri terus." Nia mengembungkan pipinya dan menatap Lenuel dengan pandangan sendu bercampur kesal.

"Kenapa gak masuk aja?" Lenuel berusaha untuk membuat Nia kembali pada moodnya yang menyenangkan walaupun dihatinya ia merasa ganjil karna sesuatu.

Mungkin jika yang di depannya saat ini adalah Sia, ia tidak akan mengerutu seperti yang dilakukan Nia, malah Sia lebih senang menunggu jika ia memang tidak di izinkan masuk oleh Adinata.

Sia juga pasti akan berlari ke bawah dan berbincang hangat dengan Lisa sang pegawai bagian repsesionis sambil menunggu ia datang.

"Kamu kenapa ngelamun disitu?" Nia melirik Lenuel lalu mengalihkan pandang pada seseorang yang sudah membukakan pintu secara lebar, Adinata.

"Engga, kamu mau makan disini kan? Kita makan bareng-bareng aja."

***

"Gue ga ngerti sama kalian berdua, kenapa malah ngebiarin Sia deket lagi sama Lenuel! Lo-lo pada harus tau kalo gue udah ga sabar buat ngeliat dia mati, tapi kenapa lo berdua malah memperpanjang waktu!" Paulo mendatangi club malam terkenal di Jakarta dengan raut kesal dan juga marah.

Ia marah karena melihat Sia dan juga Lenuel berada di rumahnya karna setaunya, rencana mereka sudah akan rumpun, tetapi mengapa sekarang diperpanjang?

"Sabar bro, kita semua disini punya rencana sendiri nanganin masalah kaya gini. Jadi lo sabar aja ngapa sih."

"Lo harusnya tau kalo gue itu bukan tipe orang yang suka nunggu. Jadi tunggu apa lagi? cepet selesain dan buat semua ini selesai apa susahnya sih repot banget." Paulo menggebrak meja tetapi sama sekali tidak mempengaruhi orang yang berada di depannya karna suara musik yang berdebum membuat gebrakan Paulo bukanlah suara apa-apa.

"Anda bisa sabar sedikit? Disini saya belum merumpuni semua kemauan saya, urusan saya dengan Filo pun belum juga menemukan titik kehancuran kemauan kita, jadi bisakah anda menunggu sebentar?" Nia mendelik dengan tangan yang sedang mengangkat vodkanya lalu meneguknya. Ia kesal karna Paulo selalu mendesak mereka melakukan apa yang diucapkannya tetapi ia sendiri tidak melakukan apa-apa.

Memang sudah tidak ditutupi lagi oleh Nia bahwa ia tidak menyukai Paulo yang memang mempunyai sifat memaksa dan menyebalkan. Sedangkan Paulo sendiri tidak mau ambil pusing.

"Baiklah Nona yang terhormat, saya permisi dulu dan saya harap kalian berdua tidak mengecewakan saya, permisi." Paulo pamit dengan raut datarnya. Sedangkan Nia yang melihat itu mendelik dan menepuk punggung tangan Filo yang sudah mulai melancarkan tindak asusila padanya.

Nia mengangguk dan mulai membawa Filo keluar club. Dan Nia sempat bergumam membuat Filo tersenyum.

"Gue bener-bener gasuka sama orang satu itu."

***

Seperti biasa ketika keduanya baru saja pulang dari perjalanan mengudara, mereka menyempatkan diri untuk pergi ke rumah seseorang. Setelah dua tahun ke belakang Lenuel selalu menyempatkan diri mampir ke rumah Sia, tetapi kali ini berbalik, Sia lah yang selalu mengunjungi apartemen Lenuel karna pria itu sudah sangat enggan menyempatkan diri bertemu dengan orang tua si wanita.

Awalnya Sia memang merasa sangat-sangat tersinggung dengan keegoisan Lenuel yang dengan terang-terangan enggan bertemu dengan orang tuanya. Tetapi ia pun mulai mengerti sekarang dan mencoba untuk menerima walaupun ia merasa terluka.

Ingatan Sia berulang kembali saat-saat ia berliburan singkat dengan keluarga Lenuel di Lombok yang begitu menghangatkan relung jiwanya. Bagaimana Lenuel memperlakukannya benar-benar mambuat Sia merasa melayang dan ingin meleburkan diri saja dengan apapun.

"Beritanya belum surut juga ya?" Sia memulai pembicaraan ketika tak sengaja Lenuel memindahkan chanel yang langsung menayangkan acara berita.

Saat ini mereka tengah duduk di ruang tv dengan kursi sebagai tempat duduk mereka. Disana ada Lenuel, dan juga Adinata yang sudah mendengus tak suka mendengar kata berita.

Adinata memang lah orang yang unik jika diteliti lebih lanjut. Ia cenderung membenci berita apapun yang membicarakan suatu kejadian. Intinya sih simple, ia tidak mau mendengar berita yang ada kemungkinan berkata kebohongan dan cenderung memfitnah orang lain.

Ya, di umurnya yang baru 7 tahun saja ia sudah pintar memilah sendiri bahkan Sia terkejut saat tau Adinata membelanya ketika pentengkaran mereka kemarin.

"Kamu bisa liat sendiri. Kayanya bakalan susah mau ngasih tau atau ngadain konfensi pers juga. liat aja orang-orang suka nyimpulin sendiri tanpa tau itu bener atau enggak." Lenuel mendengus kasar dan mulai bergerak mencari tempatnya yang nyaman.

"Ya manusia emang gitu bukan? Suka menganggap hal yang pertama itu jadi tumpuan. Bahkan tidak menutup kemungkinan kita juga pernah ngelakuin itu, kita manusia, sama seperti yang lainya."

"Tapi kita juga jangan selalu blame orang lain, karna tanpa kita tau kita juga hampir ada dibeberapa persen itu." suara Adinata memecah ketenangan Lenuel dan juga Sia.

"Kamu emang bener-bener udah dewasa." Sia menepuk-nepuk ubun-ubun Adinata dan menciumnya penuh dengan kasih sayang. Sia bangga mempunyai adik seperti Adinata yang begitu dewasa yang bisa mengimbangi siapa saja yang berani mendebatnya.

"Filter dulu kalo mau ngomong Adinata, Kaka takut kalo nanti ada yang denger terus ngincer kamu buat jadi apa besar nanti. Kaka pingin kamu milih masa depan kamu sendiri tanpa ada hasutan dari orang lain." Lenuel yang memang akhir-akhir ini selalu bersikap dingin dan datar berucap supaya Adinata lebih mensingkronkan diri.

"Kaka suka kamu jadi pengacara, duh kayanya keren banget deh." Sia tersenyum menatap Adinata yang memancarkan binar ketika Sia mengatakan bahwa ia keren jika menjadi seorang pengacara.

Lenuel berdecak. "Ini dia yang Kaka maksud hasutan."

***

"Jelasin sama Papa apa yang terjadi sama kamu?" Windu menatap Paulo dengan tajam. Akhir-akhir ini Windu memang sering mendapati kedua anaknya berada dalam jarak yang membentang jauh dengan wajah keduanya yang saling menatap waspada.

Windu jelas tidak menyukai aura mengerikan itu, hingga ia mengikuti Paulo yang berbelok ke arah club malam dan Windu terkejut melihatnya. Mungkin karena pegaulannya di luar negri yang begitu bebas membuatnya menjadi pribadi yang seperti ini.

"Apa aku salah mendidiknya Tuhan..?" lirih Windu saat itu.

Hingga disinilah mereka sekarang, berada di rumah dengan raut Rose yang bergetar mengetahui apa yang diucapkan suaminya sedangkan Windu sendiri dengan raut kecewa dan murkanya.

"Kamu sadar gak sama apa yang kamu lakuin Paulo? Apa didikan Nene, Kake mu itu belum juga menjadikan pendirianmu teguh?" Windu memulai pembicaraan setelah tadi hanya memandang Paulo tajam.

"Sadar."

"Lalu? Apa memang didikan Nene, dan Kakemu selama ini tidak berpengaruh apa-apa? Sadarlah Paulo, mereka kurang apa padamu?"

"Dan menurutmu, aku membutuhkan apa?! Tentu saja aku membutuhkan kalian berdua! Kalian sadar tidak kalau kalian ninggalin gue gitu aja? Kalian cuman liat gue setaun satu kali doang, apa itu yang dinamakan orang tua?"

"Kontrol mulutmu Paulo!" Windu berteriak marah walaupun hatinya sedikit tercubit mendengar keluh kesah anak sulungnya.

"Maafkan aku Pa, tapi apa yang Sia lakuin gak bisa aku tolelir lagi, dia yang buat aku kesiksa sama Nene, Kake dan dia juga yang buat aku ngerasa diasingkan ke dunia yang bukan jalan aku sendiri!"

Windu memijat pelipisnya yang tiba-tiba migran berlebihan. Ia memang sedikit merasa bersalah menitipkan Paulo di negri orang lain yang memang begitu keras karna gaya bebasnya. Tetapi saat itu ia tidak pernah memikirkan akan seperti ini. Ia hanya berharap bahwa Paulo mengerti akan keadaanya sekarang dengan bimbingan Nene dan juga Kakenya.

Tetapi ternyata ia salah, sangat salah.

***

Tbc.

Pilot and Flight Attendant [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang