Suara jam weker membangunkan Radit, dengan mata yang masih terpejam dia mematikan jam tersebut. Setelah kembali dalam posisi tidur, dia mencari guling kesayangannya. Hangat, dia semakin mendekap erat guling tersebut, mencari sebuah kenyamanan.
Matanya terbuka lebar, gulingnya tak pernah sehangat ini. Dia semakin terkejut ketika mendapati adik temannya itu berada dikamarnya. Tak ada kata yang dapat dideskripsikan ketika melihat Hana, punggungnya yang terbuka lebar menandakan Hana tidak memakai benang sehelaipun.
Hana menggeliat dalam tidurnya, matanya mulai terbuka dengan perlahan. Dia dapat merasakan nyeri disekujur tubuhnya.
Kerongkongannya terasa tercekat, ketika mendapati Radit yang menatapnya tanpa kata. "Kak Radit," lirihnya. Dia bangkit duduk, rasa gugup mendera.
"Maaf." Radit duduk disamping Hana. Dia mencoba tenang walaupun pikirannya berkecamuk. Kepalanya pusing, dia mencoba mengabaikannya. Semua memori malam itu, mengalir jelas dibenaknya. Keterdiaman Hana membuat Radit semakin merasa bersalah. "Maaf," ucapnya lagi.
"Tidak ada yang salah, kenapa Kakak minta maaf?" Hana mencoba tegar, ini bukan salah Radit saja tapi juga dirinya. Dia yang memberi akses pada Radit. Dia juga salah akan hal ini.
Suara deringan ponsel mengalihkan pikiran mereka. Radit menjuntaikan kakinya kebawah, memungut celana yang tergeletak tak berdaya di samping kakinya. Mengambil ponselnya yang berada didalam saku celana.
"Ya, Hara." jawab Radit.
Hana terpaku, kenyataan pahit kembali padanya. Radit, mencintai Hara bukan dirinya.
Dia memungut pakaiannya, memakainya secepat kilat. Keluar dari kamar tidak sanggup untuk mendengar perkataan sepasang kekasih itu.
Dia bersyukur kakaknya masih berada di Bandung. Jika tidak, mungkin semuanya akan kacau.
Hana menuju kamar mandi, menyiram seluruh tubuhnya. Rasa jijik mulai menggerayangi tubuhnya, digosoknya tubuhnya dengan kasar. Dia seperti pelacur, menyerahkan hal yang paling dijaga setiap wanita begitu saja, tanpa perlawanan apapun.
Hana menepuk dadanya berkali-kali. Kenyataan menusuknya dalam, Radit tidak mencintainya.
Entah berapa lama Hana menangis di kamar mandi, menangisi apa yang dilakukannya. Dia memang gadis bodoh, cinta membutakannya. Dia tidak berpikir panjang, apa yang akan terjadi dengan dirinya?
Hana mengambil bathrobe, keluar dari kamar mandi. Dia duduk di depan meja rias. Matanya bengkak karena habis menangis, hidungnya memerah. Untung saja dia tidak terlalu suka dengan make up, jika iya mungkin mukanya sudah mirip sundel bolong.
Hana melihat ke cermin, banyak tanda merah yang tercetak jelas dileher dan atas dadanya, mungkin dibagian lainnya juga, tidak! Dia tidak ingin mengetahuinya. Ya, tanda itu mengingatkannya akan perbuatan yang dilakukannya semalam adalah nyata.
Hana menelungkupkan wajahnya pada meja rias, dia menoleh ke kiri, hatinya berdegub kencang saat melihat kalender yang berada didepannya.
*****
Hana menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Dia tidak ingin terlihat lemah ataupun menangis. Semua itu adalah keputusannya, tentu saja dia harus kuat.
Deritan kursi menandakan Radit baru saja duduk.
"Mau nasi goreng atau roti?" tanya Hana tanpa menoleh.
"Nasi goreng," Jawabnya. Dia memperhatikan Hana.
Hana menyajikan sepiring nasi goreng kehadapan Radit. "Nasi goreng sudah siap." berusaha tersenyum, dia enggan menatap Radit.
"Kamu nggak makan?" tanya Radit. Dia tidak melihat apapun dihadapan Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanara
Romance"Hanara, will you marry me?" Sebuah kalimat yang akan menjungkir balikkan kehidupan seorang Hanara. Raditya, sahabat yang dicintainya selama bertahun-tahun akhirnya mengatakan kalimat yang pernah dia mimpikan *longlist wattys 2018*