Kucengkeram kerah seragam Ayres, lalu menariknya hingga wajah itu mendekat. Napasku terengah karena panik, mata ini juga terasa panas karena tangis yang tertahan. Rasanya sesak, karena amarah yang mendesak.
"K-kamu mau apa Kayya?" gagapnya. Aku tahu, dia sama panik dan takutnya denganku.
"Aku harus bagaimana, Ay?!" pekikku emosi.
"B-bagaimana apanya?" Ayres mencoba melepas cengkeraman. Tapi entah kekuatan dari mana, tanganku masih tetap berada di kerahnya, tidak bergerak sedikit pun.
"Jangan jadi pengecut!" ketusku sambil menunjukkan benda pipih itu ke hadapan wajahnya.
Dua garis jelas terpampang pada benda itu. Artinya aku hamil, dan Ayres harus bertanggung jawab.
"Kamu lihat kan ini apa? Kamu tahu kan ini artinya apa?" cecarku.
"Ka-kamu hamil?" Mata Ayres membulat terkejut sembari merebut alat tes kehamilan dari tanganku.
Kulepas cengkeraman dan mengembuskan napas dengan kasar. Drama! Ayres seharusnya tahu, dia tidak perlu seterkejut itu.
"Iya," kataku. "Dan aku enggak mungkin hamil dengan sendirinya." Mataku menatapnya tajam.
"Siapa yang menghamilimu?" Ayres bertanya seakan dia tidak tahu siapa. Apa dia gila? Jelas-jelas dia yang melakukannya.
"Menurutmu siapa?" Kulipat kedua tangan di depan dada, mendelik ke arahnya dengan sisa kemampuan menahan amarah. Rasanya, aku sudah siap meledak karena sikap konyolnya.
"Rio? Leo? Atau siapa, Kayya? Jangan membuatku frustrasi!" Kali ini Ayres yang memekik. Tapi pekikkan itu bagai sebuah tamparan yang menghempasku jatuh.
Semurah itukah aku di matanya? Aku tidak pernah melakukan itu dengan Rio atau Leo. Aku hanya melakukannya dengan Ayres, sebuah ketololan akibat buta karena cinta.
Aku baru menginjak tujuh belas tahun. Hamil di usia ini, saat belum lulus sekolah adalah hal terakhir yang ada di benakku. Aku masih memiliki cita-cita menjadi dokter, masih bermimpi untuk travelling keliling dunia. Akan sangat sulit untuk mengejar seluruh obsesi bila aku hamil sekarang.
Ini gila! Aku masih kelas sebelas, masih tujuh belas!
"Apa maksudmu, Ay? Tentu saja itu kamu!" Mataku semakin terasa panas, sementara suara mulai terdengar serak.
Ayres membelalakkan mata seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Sampai kapan kamu akan berpura-pura, Ay?
"Tidak mungkin Kayya, kita melakukannya dengan aman." Suara Ayres gentar. Dia mulai mempermainkan jemari dengan gelisah. Dia terlihat seperti banci.
"Bahkan satu persen pun kemungkinan itu tetap ada, Ay!"
Air mata mulai bergelayut di pelupuk mata. Aku marah, kesal, dan terguncang.
"Oh, please, Ayres. Aku hanya melakukannya dengan kamu," mohonku penuh pelas.
Ayres menatapku dengan pandangan aneh. Bola matanya bergerak-gerak dengan tidak fokus sementara bibirnya gemetar. Matanya berkilat antara takut dan cemas.
"Kayya, kita baru tujuh belas. Aku ingin jadi dokter dan kamu juga! Kita tidak bisa punya anak!" Ayres mengguncang bahuku, seakan hendak menyadarkanku tentang mimpi-mimpi kami yang belum tercapai.
Tanpa bisa kucegah, air mata itu menetes juga. Aku juga sangat ingin menggapai mimpiku, tapi bagaimana?
"Ayres...," desisku. Pandanganku sudah sepenuhnya buram karena air mata.
"Kita tidak bisa menikah, Kayya. Gugurkan saja. Kita masih terlalu muda. Hentikan saja kehamilanmu. Ya?" getirnya, membuat dadaku yang sudah sesak, semakin terasa sesak.
Belum sempat membantah permintaan konyolnya, kembali aku dibuat tercekik karena dia melupakan janjinya. Janji untuk tidak akan pernah meninggalkanku.
"Selanjutnya ... kita sudahi juga hubungan kita. Maafkan aku, Kayya."
Aku bergeming dengan air mata yang membanjir dan hati penuh luka. Ayres, seseorang yang kupercaya dan kucintai ... mengabaikanku.
- KAYYA -
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...