Everything's happen for a reason. Aku percaya itu.
Karena itulah aku percaya, ada alasan di balik sakit yang kuderita. Kembali menahan perasaan kepada Kayya, saat hati ini mulai menjerit untuk mencintai.
Apa alasan Tuhan mengizinkanku sakit? Aku belum tahu. Tapi cepat atau lambat, saat raga masih bernapas atau terbujur kaku, rahasia itu pasti akan terkuak.
Sesungguhnya yang paling membuatku kesal adalah, karena penyakit ini membuatku menjadi sedikit pelupa.
Sedikit? Well, banyak sebenarnya.
Kalau menurut penjelasan Thomas, si neurologist, hal itu dikarenakan tumor ini mulai memakan sel-sel otakku sedikit demi sedikit.
Karena itu, aku menjadi lupa.
Karena itu, ketika Kayya memintaku untuk tidak mati, untuk tetap hidup, aku tidak terlalu ambil pusing. Yang paling aku khawatirkan dan takutkan adalah, bahwa suatu hari, aku tidak akan mampu lagi mengingatnya.
Bukankah itu menyakitkan, ketika kamu tidak sanggup mengenal lagi orang-orang yang kaucintai?
Tanganku bergerak mengusap kepala Kayya yang saat ini berada dalam dekapan. Berharap usapanku bisa menularkan kenyamanan.
"Ayo kita pulang," ajakku sambil meraih pergelangan tangan kanannya dan menariknya keluar dari ruang praktek Ayres.
Langkahnya selalu saja selangkah di belakangku. Entah mengapa kaki-kaki jenjang itu selalu saja tidak mampu menyamai langkah.
Lift terbuka tepat ketika kami tiba di depannya. Seorang pria keluar dan lift itu menjadi kosong. Kami masuk dengan bergegeas.
Aku menekan tombol nomor tujuh, lantai teratas di rumah sakit ini. Pintu menutup, dan kami berdiri tanpa bicara, bersandar pada dinding lift. Sayup, terdengar isak tertahap dari bibir Kayya.
"Jangan nangis," ucapku tanpa berani memandang wajahnya.
"Enggak, kok. Siapa yang nangis?"
Perempuan paling jago bohong sedunia. Memangnya aku bodoh?
"Aku enggak akan mati," kataku lagi.
"Benar, Sya? Kamu enggak akan mati?" Suara Kayya terdengar antara percaya dan tidak. Serak tertahan.
Pada kenyataannya, aku memang tidak akan membiarkan diriku mati semudah itu.
Aku mengangguk, lalu menoleh ke arahnya, langsung bersirobok dengan matanya yang basah dan memerah.
"Ya ampun, Mama Li." Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, lalu mengusap air matanya dengan ibu jari.
Kayya menatapku dengan mata berkaca dan bibir yang bergetar. Sesaat aku disadarkan dengan kenyataan bahwa aku sangat mencintai perempuan di hadapanku ini. Darahku berdesir.
Tanganku bergerak meraih lehernya, menarik wajahnya agar mendekat. Kayya tidak menolak, tapi pintu lift terbuka.
Aku melongo kecewa menatap pintu yang terbuka. Kami sudah di lantai tujuh. Serta merta kutarik tangannya keluar, menuju anak tangga yang menghantarkan kami pada roof top gedung.
"Kenapa kita kesini?" tanya Kayya sementara matanya menjelajah sekeliling. Sudah hampir senja ketika kami tiba. Langit dengan warna jingga sudah mulai menggantung. Dan itu indah.
"Buat santai," sahutku sambil mengedipkan sebelah mata dan menariknya ke salah satu bagian di mana ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari semen. Pemandangan dari bangku itu terlihat menakjubkan.
Aku menekan bahunya, sehingga mau tidak mau dia terduduk menuruti perintah tanganku. Lalu kuambil tempat di sebelahnya.
Dari sini, kami bisa melihat lampu-lampu jalan yang mulai menyala di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit yang juga mulai benderang. Kami juga beruntung ketika gerombolan burung gereja beterbangan tepat di atas kami mengejar lembayung. Tidak lama kemudian, papan-papan billboard menyala secara bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...