14

11.4K 1K 80
                                    

Aku membiarkan Osya menggenggam tangan dan menarikku ke parkiran.

Kami hampir mencapai mobil ketika entah karena apa aku tiba-tiba berhenti melangkah, menarik tangannya untuk ikut berhenti. Kami sudah berada di area parkir basement. Sepi.

Osya berbalik, menatapku dengan penuh tanya.

Seperti ada sesuatu dalam hati yang mendorong, mendekatinya, merapatkan tubuh dan berjinjit untuk mencapai wajahnya sambil menutup mata. Perlahan, kuletakkan bibir rapat di bibir Osya. Dia diam saja.

Aku bisa merasakan bibir lembutnya yang hangat. Tidak bereaksi. Osya tidak bereaksi dan tidak membalas. Lagi, aku terluka. Aku terluka karena saat ini aku menilai, dia juga tidak menginginkanku.

Ah! Seharusnya aku tahu kalau dia tidak menginginkanku sebagai seorang perempuan. Aku tidak sebanding dengan perempuan-perempuan yang pernah singgah di hatinya.

Ini seperti aku yang ingin membuktikan kepada diri sendiri, berpikir jika masih ada orang yang menginginkanku meski Ayres tidak. Ada Osya yang selama ini tidak pernah mengabaikanku. Dan aku kecewa, aku salah. Bahkan dia terlihat tidak berminat menciumku.

Perlahan kutarik kembali bibirku. Lalu berdiri menunduk di hadapannya. Hatiku mengeras karena rasa malu dan bersalah.

"Maaf," desisku penuh rasa malu, tidak sanggup untuk menatapnya.

"Mengapa kamu lakukan itu?" Suara Osya terdengar berat dan dalam.

Aku menggeleng, masih menunduk.

Mungkin seperti yang tadi aku bilang, aku terbawa suasana dan ingin memastikan bahwa aku layak diinginkan. Di mataku Osya adalah seorang penolong, seorang yang berharga, tidak pernah sedikit pun dia mengabaikanku. Aku menghargai, menghormati, dan menyayanginya.

Namun sebuah ciuman---di bibir---memang berlebihan. Namun saat ini, ketika Ayres lagi-lagi mengenyampingkanku di hari besarku, hanya ada Osya di sini. Dia yang selalu ada di sini.

Osya mengembuskan napas kasar. Lalu kembali meraih tangan dan menarikku lagi ke arah mobil.

"Jangan lakukan lagi." Dia melirikku sekilas untuk kembali memandang ke depan. "Kamu hanya akan membuat kita semua salah paham."

"Iya, aku kan sudah minta maaf."

Dan sialnya suaraku tercekat di ujung kalimat, mendadak mataku terasa panas karena merasa egoku kembali terluka. Kali ini oleh Osya.

Ya ampun! Kami kan memang hanya berteman, aku yang bodoh mencoba berspekulasi untuk kepentingan harga diri dan berakhir dengan memalukan.

Untungnya langkah Osya lebih panjang, sehingga walaupun dia menarik tanganku, aku tetap selalu tertinggal di belakang. Jadi, dia tidak perlu melihat air mata yang mulai tumpah.

"Janji ya, Kayya!" tegasnya.

Aku menggigit bibir. Berusaha menahan isak yang sepertinya akan pecah keluar dari mulut. Aku tidak sanggup menjawab, takut meledak.

Osya menghentikan langkah secara mendadak lalu berbalik sambil berseru, "Kayya, mengapa kamu tidak menja---" Perkataannya terputus.

Aku sudah menutup wajah dengan telapak tangan dan mulai tersedu. Rasanya ada yang memeras jantungku hingga terasa sangat nyeri, memaksa untuk menangis.

"Ya ampun!" Osya menarikku dalam dekapan. "Kamu kenapa, sih? Ini ulang tahunmu dan kerjaan kamu seharian cuma marah-marah dan nangis."

Aku tidak menjawab, tangisku malah semakin keras.

Air mataku membasahi kemejanya. Osya tidak protes. Tangannya justru bergerak membelai rambutku.

"Sttt ... sudah ya, jangan nangis. Sttt ... Kayya jangan nangis. Mama Li, sudah ya ...."

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang