10

12.8K 1.1K 52
                                    

"Kamu timbang dulu berat badan kamu ke tante yang cantik itu ya." Ayres mengelus kepala seorang anak lelaki dengan lembut lalu menunjuk ke arahku.

Anak itu mengangguk lalu berjalan menghampiriku. Aku tersenyum ke arahnya dan membantunya untuk naik ke alat penimbang, kemudian dengan cekatan kutulis beratnya di atas secarik kertas. Tidak lupa aku juga mengukur suhu tubuhnya dengan termometer dan mencatatnya juga di kertas yang sama.

Ayres menugaskanku untuk menimbang berat, mengukur suhu dengan termometer, serta mengukur tensi dengan tensimeter yang untungnya berteknlogi digital. Dia juga membiarkan anak-anak kecil memanggilku dengan panggilan tante cantik dan untuk orang-orang dewasa akan memanggilku dengan sebutan dokter cantik.

Wew! Bahkan dokter pun aku bukan.

"Nama kamu siapa?" tanyaku sambil tersenyum. Anak ini mungkin masih beberapa tahun di bawah Li usianya.

"Andi," jawabnya dengan malu-malu.

"Umur kamu?"

"Enam tahun," jawabnya lagi, kali ini dengan pipi yang memerah.

Aku mengulum tawa melihat tingkah Andi. Dia anak lelaki yang menggemaskan. Tanganku bergerak mencubit pipinya pelan karena gemas. Bocah itu sama sekali tidak mengaduh, namun kepalanya semakin menunduk malu-malu.

Aku menyerahkan kertas berisikan data berat, suhu tubuh, nama, dan usianya. Kemudian memintanya untuk memberikan kertas itu kembali pada dokter ganteng.

Well, semua orang memanggil Ayres dengan sebutan itu di sini. Itu lucu. Dan kenyataannya, dia memang tampan. Aku tidak bisa memungkiri hal itu. Sejak dulu, dia selalu tampan.

Aku menatap ke arah Ayres, tidak disangka dia juga sedang menatap ke arahku. Dia tersenyum ketika mata kami bertemu, sebentar saja sebelum dia kembali fokus dengan seorang wanita tua yang melulu batuk di hadapannya. Dan sialnya, malah aku yang jadi salah tingkah di sini.

Hari sudah sore ketika tugas dokter-dokteran kami selesai. Kepala desa menjamu kami dengan makan malam. Mengikuti obrolan mereka, aku baru tahu kalau ternyata Ayres selalu datang ke desa ini setidaknya sebulan sekali untuk pelayanan kesehatan. Dia melakukannya secara gratis. Bentuk dedikasi katanya. Kalau di rumah sakit dia melakukannya secara komersial, maka di desa ini dia melakukannya sebagai bentuk kemanusiaan.

Aku angkat topi untuk Ayres dalam hal ini. Sebenarnya ini bukan hal aneh. Dia memang selalu murah hati sejak dulu. Sejak aku mengenalnya. Ayres memiliki pribadi baik dan suka menolong, populer juga di sekolah karena cerdas dan super ramah. Karena itulah dulu aku jatuh cinta padanya.

"Kamu yakin tidak mau makan sesuatu lagi?" Ayres menatapku sekilas sebelum kembali berkonsentrasi ke jalanan. Kami sudah setengah jalan dalam perjalan pulang .

Aku menggeleng.

"Masih kenyang," sahutku. "Lagipula ini sudah malam, kasian Li pasti dia nungguin aku."

Aku melihat raut wajah Ayres berubah, wajahnya menjadi tegang.

"Li? Anakku?" tanyanya pelan dan hati-hati.

"Anakku!" sanggahku dengan sewot.

"Anak kita." Dia mencoba mengoreksi.

"Nope, dia anakku. Bukan anakmu!" sanggahku dengan tidak senang.

Ayres hanya menghela napas. Dia tidak lagi berbantah-bantahan denganku.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang