Ketika kamu memutuskan untuk menikahi seseorang dan menjadi pasangan pengantin baru, yang ada di pikiranmu adalah berbahagia bersama seumur hidup. Menjadi tua bersama, dan bergandengan tangan di penghujung usia nantinya. Dan tentu saja, itu akan memakan waktu yang sangat lama ....
Namun, ketika aku memutuskan untuk menikahi Osya, pria yang kucintai, aku harus mengesampingkan banyak hal. Bahagia? Itu sudah pasti! Tapi untuk menua bersama, hal itu hanya dapat dipastikan setelah operasi kanker otak yang sedang berjalan saat ini selesai dilakukan.
Apakah operasinya berhasil, atau apakah operasinya akan menjadi gagal?
"Apa masih lama?" tanyaku pada Ayres yang duduk sejajar denganku pada bangku tunggu di depan ruang operasi. Kami berselisih dua bangku.
"Paling cepat empat jam," jawab Ayres, lalu dia menatapku. Aku membalas tatapannya dengan lelah. Aku hanya tidur sebentar di pelukkan Osya sebelum dia membawaku ke roof top semalam dan berakhir di kamar operasi. Setelah itu, sampai saat ini--jam sepuluh pagi--aku belum juga beristirahat.
"Masih tiga jam lagi. Kamu mau tidur sejenak?" Ayres menawarkan ketika melihatku terus menguap.
Aku menggeleng. Ingin tetap di sini sampai aku mengetahui hasil operasi Osya.
"Kalau begitu kamu harus makan. Nasi goreng, ok?"
Ayres langsung berdiri dan melangkah pergi ketika aku belum sempat mengatakan apapun. Padahal aku mau mengatakan kalau aku sama sekali tidak berselera.
Bagaimana bisa aku makan sementara Osya berjuang di dalam sana?
Tidak lama Ayres datang dengan segelas plastik kopi dan nasi goreng yang dikemas dengan sterofoam.
Dia mengulurkan gelas plastik kopi dan nasi goreng bersamaan. Aku hanya menerima kopi karena aku butuh terjaga, dan menolak nasi goreng dengan mendorongnya pelan dari hadapanku.
Ayres mengerucutkan bibir kecewa. Tapi dia bergegas duduk di sisiku, dan membuka kotak pembungkus nasi goreng itu di pangkuannya.
"Aku akan memaksamu untuk makan," katanya sambil mengambil sesendok nasi goreng dan mengarahkannya ke mulutku.
Aku memutar bola mata. Lalu menggeleng keras. Aku hendak menyeruput kopi, namun Ayres merebutnya dan kembali meletakkan sendok tepat di depan mulutku.
"Ayres ...," keluhku karena dia sungguh memaksa.
"Aku mengkhawatirkanmu," katanya.
"Jangan!" seruku. Aku merasa tidak nyaman mendengar kalimat itu.
"Kalau begitu kamu harus makan!" Ayres menggerak-gerakkan sendok di hadapanku lagi. "Kamu tidak tidur, kamu tidak makan. Kamu hanya akan menambah jumlah pasien di sini. Bagaimana kamu bisa merawat suamimu kalau kamu juga ikut-ikutan sakit?" ceramahnya.
Aku diam sambil menatapnya tajam. Mencoba mencerna kata-kata yang ada benarnya juga. Kalau aku juga jatuh sakit, siapa yang nanti akan menjaga Osya?
Maka aku meraih kotak nasi goreng di pangkuannya untuk kuletakkannya di pangkuan. Lalu merebut sendok yang sudah berisi nasi goreng dari tangannya dan menyuapi diriku sendiri.
Ayres nampak tersenyum puas. Aku menatapnya dengan merengut, kesal karena dia bisa mengatakan hal yang benar.
Aku terus makan, terus memandangi Ayres yang saat ini justru malah fokus melihat ke arah ruang operasi.
Dan dari sisi ini, dari jarak sedekat ini, aku baru memperhatikan bagaimana wajahnya telah berubah menjadi dewasa. Dia masih memiliki sorot mata yang sama, senyum yang sama. Tapi dia terlihat berbeda, dia sungguh terlihat dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...