7

15.7K 1.3K 77
                                    

"Papa kan Papanya Superman, Superman harus kuat dan ga cengeng. Li cengeng! Papa Osya ngga mau jadi Papa Li!"

Wajah Osya memberengut, dilipatnya kedua tangan di depan dadanya.

"Papa!" Li menghambur memeluk Osya. Tangan-tangan kecilnya hanya mampu memeluk sampai ke bagian pinggang.

Aku menarik napas dan mengemmbuskannya kembali dengan kasar. Lega bercampur kesal. Osya tersenyum ke arahku dengan cengiran menghinanya.

Menyebalkan!

"Jadi kamu jangan nangis lagi, okay?" Osya berlutut lalu mengecup kening Li sekilas, "Kamu kan jagoan Papa. Jagoan ngga cengeng."

"Tapi mereka jahat." Li mengadu sambil mengusap air matanya.

"I'll beat them all tomorrow!" Osya mengepalkan tangan ke atas seolah ingin menyatakan bahwa dia serius.

Mata Li tiba-tiba berubah jadi penuh binar. "Jadi Papa bakal ke sekolah Li besok? Papa bakal hajar mereka?"

"Hmm." Osya bergumam, lalu mengalihkan pandangan padaku, meminta pendapat?

Aku mengindikkan bahu, lalu melengos pergi ke arah dapur.

Sayup dapat kudengar Osya berkata penuh keyakinan.

"Hmm, Papa usahakan. Tapi Mama pun pasti bakal hajar mereka."

Dasar jago ngeles.

Lalu aku mendengar tawa keduanya, entah karena apa.

Tanganku dengan cekatan mengambil celemek yang tergantung di samping kulkas. Memasangnya dengan baik menutupi tubuh bagian depanku, lalu beralih membuka kulkas.

Tidak banyak yang bisa kuolah. Hanya ada nugget dan buncis. Baiklah, nugget untuk Li dan tumis buncis untukku. Osya tidak masalah, dia pemakan segala.

Wangi bawang putih menyeruak ketika aku mulai menumis.

"Waw! Mama Li masak, ngga sabar mau makan."

Entah sejak kapan Osya sudah berada di sampingku. Aku hanya mendengkus, masih kesal dengan candaannya tadi.

Dia hampir saja membuat jantungku copot. Memang benar dia bukan ayah Li, tapi maksudku, bukan seperti itu cara yang tepat untuk memberitahunya. Bisa-bisa Li shock dan stres. Aku belum pernah mengukur tingkat stres Li sebelumnya. Tapi sepertinya, melihat reaksi Li atas perkataan teman-teman sekolahnya, bisa kusimpulkan kalau tingkat stresnya tidak terlalu baik. Jadi, kami harus lebih hati-hati saat memberitahu tentang masalah itu suatu saat nanti.

"Marah?" Osya menatapku dengan wajah serius. Aku diam saja sambil memasukkan potongan buncis ke dalam wajan.

"Ok, aku minta maaf. Keterlaluan ya?" tanyanya lagi yang masih tidak kugubris. Pura-pura sibuk dengan wajan dan minyak.

"Mau ngambek sampai kapan, Kayya?" Osya mulai menggerutu.

Heran, seharusnya aku yang menggerutu di sini.

Aku mematikan api kompor, mengambil piring di rak dan menata tumis buncis di atasnya.

Kemudian ku mtatap Osya lekat. "Aku akan memberitahunya, Osya. Kamu jangan khawatir, suatu saat Li pasti akan tahu," kataku.

Aku hendam melangkah untuk menghidangkan makanan ke meja makan, tapi Osya menarik tanganku.

"Aku tidak bermaksud begitu, Kayya." Sepertinya dia menyesal.

Aku mengangguk sekali ke arahnya sambil tersenyum. "Aku mengerti," kataku meyakinkan, lalu berlalu menuju meja makan.

Acara makan malam selalu menyenangkan seperti biasa. Osya dan Li yang bercengkrama dan saling canda, dan aku yang selalu menikmati suasana menentramkan di depanku.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang