Aku menatap layar ponsel sejenak. Kayya tidak membalas pesan, yakin dia kecewa karena aku membatalkan rencana makan malam di hari ulang tahunnya.
Aku memang selalu dan selalu saja mengecewakannya.
Tapi aku bisa apa ketika dihadapkan dengan yang namanya profesionalisme?
Kumasukkan ponsel ke dalam saku dan berbalik menuju ruang perawatan intensif. Hampir mencapai pintu ketika seseorang menarik kerah belakang jubah putih khas dokter yang kupakai dengan kasar, sehingga aku nyaris terjengkang mundur.
"Aduh!" Kutahan tubuh, tapi tarikkan dari arah belakang lebih kuat.
Dengan sedikit marah aku berbalik dan menemukan sosok kurus dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku.
"Lo ngapain masuk ke dalam?" tanyanya dengan kesal.
Laki-laki di hadapanku ini berusia kurang lebih tiga tahun di bawahku, tapi kelakuannya sangat tidak sopan. Aku mengenalnya dengan cukup baik. Dalam sembilan tahun terakhir, pertumbuhannya terlihat pesat tapi tidak dengan sikap kekanakkannya.
"Om Luki itu pasien aku, Ken. Jadi aku harus masuk," tegasku.
"Kalau begitu gue akan minta ganti dokter. Aneh deh, kok bisa-bisanya Papa dirujuk ke elo?" Dari nadanya bicara sungguh terbaca kalau dia sangat tidak menyukai keberadaanku.
Aku mendengkus. "Silahkan saja!" sinisku lalu melangkah masuk dengan cepat tanpa menghiraukannya lagi.
Ken itu adik lelaki Kayya satu-satunya. Dan om Luki adalah ayahya Kayya. Kami saling mengenal ketika dulu Kayya dan aku masih berpacaran. Jadi, kalau sekarang Ken membenciku, itu wajar. Di matanya, aku menghancurkan kehidupan kakaknya, keluarganya.
Beberapa hari lalu ketika aku mendapat rujukan seorang pasien pengidap kanker hati stadium akhir dengan nama Luki Wijaya, perasaanku kalut bukan main.
Berkas itu mendarat di mejaku, dibawakan oleh seorang dokter koas yang baru saja hendak mengambil spesialisasinya. Aku ragu apakah akan mengambil rujukan itu atau menyerahkannya pada ahli yang lain. Tapi pada akhirnya aku ambil juga dengan alasan profesionalisme dan ... Kayya?
Itu ayahnya Kayya, bagaimana mungkin aku tidak bersedia merawatnya meski kemungkinannya untuk sembuh sangatlah kecil?
Dan ketika itu, ketika aku pertama kali masuk ke ruang intensif, dokter ahli bedah baru saja memeriksa. Mereka memeriksa apabila ada kemungkinan bisa dilakukan operasi, tapi ternyata hal itu sudah tidak dapat dilakukan karena sel kankernya sudah menyebar.
Aku melihat Tante Maya berdiri di sisi tempat tidur, memperhatikan Om Luki dengan sayang.
Kudekati, dan memperhatikan bahwa ayah dan ibu Kayya terlihat lebih tua, mereka termakan usia. Tapi Tante Maya tetap terlihat cantik walau kelelahan sangat terlihat di wajahnya. Aku selalu berpikir kalau Kayya akan terlihat seperti dia di usia matangnya nanti.
"Tante Maya," panggilku pelan sambil menyentuh bahunya.
Tante Maya berbalik dan menatapku sejenak, dia tersenyum untuk membalas senyum. Aku yakin dia belum menyadari siapa yang berdiri bersamanya saat dia melempar senyum, karena beberapa saat kemudian senyum itu memudar berganti dengan raut wajah kecewa. Kemudian wajahnya menegang, dengan urat-urat yang menonjol. Kemungkinan besar dia menahan tangis sebelum melangkah keluar tergesa dengan mata memerah serta telapak tangan yang menutup mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...