Aku mencoba membuka mata perlahan, rasanya berat, dan kepala masih sedikit pusing. Ketika mataku sudah benar-benar terbuka, aku menyadari sedang berada di salah satu bangsal di rumah sakit.
"Anda sudah sadar, Nona?" seorang juru rawat yang kebetulan datang untuk memeriksa keadaanku tersenyum sambil menyingkap gorden pembatas.
"Nyonya," koreksiku, sambil memperhatikan gerakkan tangan perawat yang cekatan memasang tensimeter di lenganku dan memeriksa tekanan darah.
"Tekanan darah anda juga sudah stabil," katanya lagi sambil melepas tensimeter dari lengan.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" tanyaku penasaran.
"Hmm, sekitar tiga jam kalau tidak salah." Perawat itu mencoba mengingat.
Aku duduk dengan terkejut. Tiga jam? Selama itukah?
Aku hendak turun dari ranjang, namun dicegah.
"Aku hanya ingin melihat suamiku. Dia baru di operasi dan aku harus segera menemuinya," jelasku sedikit memaksa.
Perawat itu masih mencoba mencegah, namun kuabaikan. Dengan tergesa aku menuju meja informasi di seputaran lobi rumah sakit.
"Maaf, apa saya bisa tau di mana Osya Tjandra dirawat?" tanyaku pada seorang petugas perempuan yang duduk di belakang meja.
"Tunggu sebentar," jawab perempuan itu sambil tersenyum. Lalu tangannya dengan cekatan menekan tombol-tombol di atas keyboard.
"Oh, dia ada di VIP room di lantai 5 kamar 501," sebutnya.
"Terima kasih," sahutku sambil berlalu menuju lift. Dengan tidak sabar aku berdiri menunggu lift sampai di lantai dasar.
Aku bernapas lega ketika denting lift terdengar dan pintunya terbuka. Kakiku bergeming ketika melihat seseorang yang kukenal muncul dari dalamnya. Lorna Sutjipta, kakak Ayres. Dia menggandeng seorang gadis kecil seumuran Li. Aku yakin itu Lala, anaknya, teman sekolah Li yang lama.
Ini benar-benar di luar dugaan. Jantungku berdegup kencang ketika mata kami bertatapan. Bayangan tentang bagaimana dia dan anaknya pernah mengintimidasi Li, kembali menguar di benak.
"Kayya?" ucapnya seakan tidak yakin dengan apa yang dia lihat. Dia menggandeng gadis kecil berambut ikal--sebagaimana rambutnya--keluar, dan membiarkan pintu lift menutup di balik punggung.
"Apa kabar?" tanyanya seakan senang melihat keberadaanku. "Bagaimana keadaan keponakkanku? Apa dia baik-baik saja? Dia pindah sekolah, kan? Aku tidak pernah melihatnya lagi."
Sok perhatian!
"Dia baik-baik saja," jawabku dengan tersenyum. Aku juga jago main sandiwara. "Terima kasih," tambahku.
"Maafkan Lala ya, dia tidak bisa menjaga mulutnya." Lorna tampak menyesal. Tapi penyesalannya terlalu terlihat dibuat-buat.
"Engga apa-apa, namanya juga anak-anak," sahutku seakan tidak bermasalah dengan perkataannya.
"Oya, aku harus segera menemui suamiku. Jadi aku permisi duluan, ya." Aku segera menekan tombol lift yang dengan beruntungnya langsung membuka.
Lagi, wajah yang kukenal muncul. Ayres!
"Kayya, kamu sudah bangun? Apa sudah baikkan?" Ayres bertanya memastikan.
"Om Ayres!" Lala menghambur memeluk kaki Ayres dengan bersemangat.
Perhatian Ayres terbelah, antara menunggu jawabanku dan menyambut keponakannya.
Kesempatan!
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...