24

9.6K 968 51
                                    

"Iya, kamu memintaku untuk menginap." Aku tersenyum ke arah Osya. Osya memiringkan kepala, menatapku dengan ragu. Tapi akhirnya dia juga tersenyum.

"Kalau begitu, menginaplah selama yang kamu inginkan!" Osya beranjak turun dari tempat tidur. "Li mana?" tanyanya ketika tidak melihat Li di kamarku.

"Di atas," jawabku. "Tadi kamu mengizinkannya untuk menempati kamar yang ada di ujung anak tangga."

Osya mengerutkan keningnya bigung. Tapi kemudian terlihat senang, dikecupnya keningku sekilas.

"Aku mau ketemu Li dulu," katanya, lalu matanya beralih ke leherku. "Kalungnya cocok banget! Aku enggak salah pilih, kan?"

Aku menggeleng.

Osya berdecak terlihat puas melihat kalung di leherku. Kemudian dia berbalik meninggalkan kamar.

Aku menjatuhkan diri di pinggir tempat tidur, segera setelah memastikan Osya benar-benar sudah keluar dari kamar.

Kusentuh cincin di kalungku, lalu air mata menetes begitu saja. Seharusnya aku bahagia karena dia melamar. Aku memang bahagia, namun juga tahu kalau lambat laun, Osya akan melupakanku. Dan ketika saat itu tiba, akan sekuat apa aku menghadapinya? Apakah Osya akan tetap mengakui keberadaanku? Apa dia akan tetap mencintaiku?

Aku menggeleng keras, menepis kemungkinan terburuk. Kami sedang berusaha membuatnya sembuh, dan aku yakin itu pasti berhasil. Aku optimis!

Ponselku berdering dari dalam saku celana. Aku melap air mata menggunakan telapak tangan dengan tergesa sebelum akhirnya meraih ponsel.

Nama Ayres terpampang pada layar.

"Ya, Ayres?" jawabku sambil menahan isakku. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku habis menangis.

"Apa kamu baik-baik saja? Kamu habis menangis ya?"

Dia langsung menebak begitu mendengar suaraku. Aku diam saja.

"Kayya?" Ayres terdengar cemas.

"Bukan urusanmu!" ketusku.

"Mengenai Li? Kalau iya, itu artinya urusanku juga."

Bisa-bisanya dia bilang Li adalah urusannya juga. Memangnya dia sudah lupa seberapa benci  aku padanya?

"Atau Osya? Kalau iya, artinya itu juga urusanku. Karena kamu butuh seorang profesional untuk membantu."

Isakku mulai tidak tertahankan. Sedikit demi sedikit keluar dari mulutku.

"Ini pasti tentang Osya, kan?"

Aku mendengar Ayres menarik napas panjang.

"Apa kamu mau cerita sedikit? Aku siap mendengarkan."

Ayres menawarkan sesuatu yang menarik. Aku memang butuh teman bicara. Tapi membicarakan masalah Osya dengannya, bukankah ini tidak masuk akal?

"Aku tidak akan marah atau cemburu. Karena itu, kamu hanya perlu menyingkirkan rasa sungkan dan bencimu padaku barang sejenak."

Dia seakan dapat membaca pikiran. Sejak dulu pada saat kami masih berpacaran, dia selalu seperti cenayang. Seolah mampu membaca pikiran, dia selalu berhasil membuatku merasa tercengang karena takjub atau bahagia dengan perilakunya yang penuh perhatian.

"Dia ... Osya. Dia ... melamarku," ceritaku pada akhirnya dengan sedikit terisak. Masa bodohlah dengan yang namanya benci. Aku butuh seseorang yang bisa mengerti saat ini.

Hening. Tidak ada tanggapan dari Ayres. Cukup lama sampai aku berpikir kalau dia tidak mau lagi mendengar kelanjutan ceritaku.

Tapi tiba-tiba dia kembali bersuara.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang