Aku menarik Li ke pelukan. Bocah kecil itu terlihat tetap nyaman, sama sekali tidak terlihat terganggu dengan apa yang kulakukan.
Selama delapan tahun terakhir, hanya Li yang kupunya. Selebihnya, Osya-lah yang selalu berada di sisi kami layaknya seorang malaikat pelindung, yang selalu hadir pada setiap chapter kehidupan kami.
Aku ingat saat dulu Osya menemukanku menangis di tepi jalan setelah Papa mengusirku dari rumah. Dia yang hanya mengenalku sebagai adik kelas pada masa sekolah menengah atas, berbelas kasih untuk menolong. Membawaku ke rumahnya, dan menenangkanku.
Sebagai anak tunggal yang orang tuanya menjalankan bisnis dari luar negeri, otomatis Osya hanya tinggal sendirian di Indonesia.
Osya-lah yang mengantarku ke dokter kandungan setiap kali harus check up. Dia yang berada di sisiku saat bayiku lahir dan menjadi orang pertama yang menggendong Li. Osya juga yang memberikanku pekerjaan dan menyewakan sebuah rumah untuk aku tinggali bersama Li.
Osya yang baik.
"Kayya, kamu sudah tidur?"
Suara Osya terdengar dari balik pintu. Kubungkam mulut. Beberapa detik berlalu begitu saja dalam hening.
"Aku pulang ya, Kayya. Sampai ketemu besok di kantor," pamitnya pada akhirnya dengan suara pelan.
Tidak lama aku mendengar suara pintu depan ditutup dan dikunci.
Aku sengaja membiarkan Osya mondar-mandir di rumah dengan bebas. Selain karena dia yang membayar uang sewa, Li adalah alasan yang utama. Yang Li tahu, Osya adalah ayahnya.
Osya memang datang nyaris setiap hari, dan selalu pulang setelah Li terlelap. Jika suatu waktu dia berhalangan datang, aku akan mengarang cerita untuk Li, kalau ayahnya sedang tugas ke luar kota.
Syukurnya, Li selalu percaya.
Bagi Li, Osya adalah ayahnya. Bukan Ayres. Dia tidak mengenal Ayres. Akan kupastikan agar dia tidak akan pernah mengenal lelaki itu.
Lalu ... setelah semua yang Ayres lakukan pada kami, masihkah dia berhak untuk menanyakan kabar kami?
~ KAYYA ~
"Mbak Kayya, kata PT. Moore mereka udah drop invoice ke mailing room. Udah dapet belom?" Jennifer, dari bagian finance, bertanya ketika aku melewati mejanya untuk meletakkan amplop coklat besar di meja sebelah.
"Invoice PT. Moore, ya? Sebentar." Aku pun mencari yang dimaksud pada tumpukkan surat yang kususun di atas meja beroda, tapi tidak kutemukan.
"Enggak ada, Jen. Coba tanyain lagi deh ke PT. Moore, penerimanya siapa?" saranku.
Jennifer mengerucutkan bibir. "Ok lah. Makasi ya, Mba Kayya."
"Sama-sama, Cantik," balasku sambil mendorong meja beroda ke ruang sebelah. Ruangan HRD.
"Kayya, bisa kemari sebentar?" Pak Ronny-Direktur HRD berusia nyaris lima puluh tahun-memanggilku masuk ketika aku melewati pintu ruangannya yang terbuka.
"Ya, Pak." Kudorong meja ke tepi agar tidak menghalangi jalan, lalu masuk ke dalam.
Dari tempatnya duduk Pak Ronny memberi isyarat agar aku menutup pintu, yang kulakukan dengan patuh.
"Duduk." Dia mempersilakan.
Dengan enggan aku duduk. Jarang-jarang Pak Ronny memintaku masuk ke ruangannya kalau bukan urusan surat-menyurat atau paket. Aku jadi cemas.
"Begini Kayya, seperti yang kamu tahu bahwa Lala, sekretaris Pak Osya, sedang cuti melahirkan." Pak Ronny memulai pembicaraan, yang kudengarkan meski bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...