4

20K 1.6K 75
                                    

Duduk berhadapan dengan Ayres seperti saat ini adalah hal yang paling kuhindari. Tapi Osya malah dengan sengaja meninggalkan kami di ruangannya.

Sial!

"Apa kabar, Kayya?" Ayres bertanya pelan.

"Hmm," jawabku tanpa mau melihat ke arahnya.

Lalu hening.

"Maaf, kalau tidak ada lagi yang hendak dibicarakan, sebaiknya saya kembali ke meja."

Aku bangkit dari duduk. Terlalu lama berdiam-diam membuat atmosfer di ruangan ini bertambah tidak menyenangkan dan tegang.

"Kayya!" panggilnya.

Dari langkah kaki di balik punggung, bisa kupastikan kalau dia sudah bangkit dan melangkah menghampiriku.

"Aku minta maaf."

Suaranya terdengar lemah dan dekat di telingaku.

Aku diam saja. Bingung harus menyahut apa.

"Kayya."

Pundakku disentuh, membuatku sontak mengendik risih. Lalu sentuhan itu lenyap. Dari awal pertemuan kami hari ini, aku tidak memperhatikan wajah Ayres dengan lekat. Namun, aku sangat yakin garis-garis tegas rahangnya masih sama seperti dulu.

"Aku masih mencintaimu, Kayya."

Seketika ada sesuatu yang melesak ke dalam dada. Sesak, memaksaku menutup mata dan menghela napas panjang.

"Aku mau minta maaf dan akan menebus kesalahanku. Aku mohon, Kayya." Suara Ayres terdengar bergetar.

"Baiklah ...."

Hanya kata itu yang terlintas untuk diucapkan, kemudian aku pergi begitu saja tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun.

Pintu ruangan Osya berdebum ketika kututup dengan kasar. Osya yang sedang berdiri bersandar pada dinding menoleh, senyumnya seketika luruh ketika melihatku muncul.

"Tidak berjalan baik, eh?" tanyanya sambil menahan langkahku dengan menyentuh bahu.

"Ngga akan pernah baik kalau berurusan dengan dia!" ketusku sambil menatap marah ke arahnya. "Aku ngga suka, Osya!"

Osya mendengkus. "Si keras kepala," rutuknya.

Spontan aku memutar mata, mendelik ke arahnya dengan sinis.

"Si bodoh," bisiknya sambil mendekatkan bibir ke telingaku. "Aku memberikanmu kesempatan, Mama Li. Pergunakan dengan baik," tuturnya lagi berbisik-bisik.

Aku menegang. Kesempatan? Maksudnya?

"Kesempatan?" desisku mencoba mencerna.

Osya menarik mundur tubuhnya. Sekarang dia berdiri dengan posisi tegak dengan kedua tangan tersimpan ke saku celana.

"Kamu boleh pulang cepat kalau mood-mu berantakan. Percuma juga kerja kalau nantinya ngga fokus." Osya mengulurkan lagi tangannya ke pundakku.

Aku masih menatapnya meminta penjelasan. Kesempatan apa? Apa?

"Kita ketemu nanti di rumahmu, oke?" Ditepuk-tepuknya bahuku.

Sebenarnya aku hendak protes, tapi urung ketika mendengar pintu ruangannya terbuka dari dalam.

"Ayres! Tunggu Bro, aku bakal ke sana sebentar lagi."

Lalu pandangannya jatuh lagi ke arahku.

"See you." Matanya mengedip menggoda, lalu pergi untuk kembali ke ruangannya.

Aku menggigit bibir bawah kencang-kencang. Kebingungan dengan arti kesempatan yang diucapkannya tadi.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang