3

21.7K 1.8K 63
                                    

Apa perlu kujelaskan apa yang menjadi pilihan? Rasanya tidak. Duduknya aku di meja kerja Lala pagi ini, sedikit banyak sudah bisa menjelaskan.

Telepon di meja tiba-tiba berdering, langsung kuangkat dengan sigap.

"Kamu mau makan apa siang ini, Kayya?" Osya bertanya di ujung telepon. Ini adalah hal baru karena biasanya dia menghubungi melalui WA messenger jika hendak mengajak makan siang.

Kulirik jam, baru jam sebelas. Waktu makan siang masih satu jam lagi.

"Masih jam sebelas, Sya," jawabku.

"Terus kenapa?" tanyanya lagi.

"Belum jam istirahat," jawabku sambil mengangguk ketika Rose, karyawan magang di mailing room yang menggantikan tugasku, menyerahkan dokumen dalam amplop cokelat.

"Buat Bapak ya, Mba Kay," bisiknya seakan tidak mau mengganggu aktifitas teleponku. Aku mengangguk lagi sambil membuat bulatan dengan telunjuk dan ibu jari. Rose balas mengangguk lalu berlalu.

"Ada masalah? Yang ngajak aku loh, bos kamu."

Aku menelan ludah. Osya dengan sifat bossy-nya.

"Terserah Bos aja." Menyerah. Osya terkikik penuh kemenangan mendengar suara pasrahku sebelum menyudahi panggilan.

Selalu sulit menolak permintaan Osya. Aku terlanjur banyak berhutang budi padanya.

Dulu, ketika aku melahirkan, Osya-lah yang mondar-mandir di depan kamar bersalin dengan wajah pucat karena cemas, bersorak kegirangan ketika mengetahui bahwa bayi yang lahir adalah seorang laki-laki dan sehat, juga yang mendoakan bayi itu tumbuh menjadi anak yang kuat pribadi dan jasmani. Salah satu alasan mengapa aku memberikan nama Li.

Li berarti kuat.

Laki-laki memang harus kuat, dan keadaan memang memaksa Li harus tumbuh menjadi kuat.

Karena Osya jugalah Li tidak pernah kehilangan kasih sayang dan tetap memiliki figur seorang ayah. Sungguh aku berterima kasih padanya.

*******

Makanan sudah terhidang di meja, kami makan chinesse food siang ini.

"Terima kasih makan siangnya." Aku mengelap mulut dengan tisu, lalu menyeruput es jeruk. "Aku akan traktir kamu dengan gaji pertamaku sebagai sekretaris nanti."

"Tidak perlu," Osya menolak, menggelengkan kepala sambil mengelap mulutnya juga dengan tisu. "Mending kamu beliin Li set basket. Dia kemarin bilang mau banget punya bola basket plus ring-nya. Li lebih penting!"

"Makan kayak gini ngga akan ngabis ...."

"Please, Kay!" potongnya tegas, tidak ingin dibantah.

Aku mendengkus, kemudian diam.

"Bungkus buat Li juga, ya?" sarannya.

"Keburu dingin, ah," tolakku.

"Nanti kamu angetin." Tangan Osya terangkat melambai memanggil seorang pelayan yang kebetulan sedang menatap ke arah kami.

Aku menghela napas pasrah ketika Osya meminta beberapa jenis makanan untuk dibungkus.

Terserah saja, lah.

"Jadi mengenai yang kubicarakan tempo hari ...." Osya menjegal kalimat, menatatapku sambil memainkan jemari. Mungkin yang tidak mengenalnya dengan baik, tidak akan tahu bahwa dia mempermainkan jemari setiap kali merasa cemas atau ragu.

Kelakuannya ini membuatku bertanya-tanya, apa Osya akan kembali membahas mengenai pasangan hidup dan pasangan kerja?

Waktu itu, aku enggan menjawab pertanyaan konyol yang terlontar, hanya berbalik dengan wajah panas karena malu dan bingung. Lalu besoknya langsung duduk di kursi Lala tanpa mengatakan apapun. Bahkan ketika malamnya dia datang kerumah, topik mengenai pasang-pasangan itu tidak pernah kami senggol sedikit pun.

"Mengenai Ayres,"

Owh! Tebakanku salah. Ini topik yang paling kuhindari. Lebih makan hati daripada topik mengenai pasangan hidup dan pasangan kerja.

"Aku menolak untuk--"

Belum selesai aku bicara, Osya sudah memotong, "Dia memintaku mengatakan ini padamu, jadi dengarkanlah supaya aku tidak berhutang padanya."

Aku diam dengan wajah kencang. Mauku tidak mendengarkan, tapi sepertinya dia memaksa. Mengapa dia selalu membahas hal yang kubenci?

"Dia tidak berhubungan dengan siapapun sejak kejadian kalian, dia tidak menikah, dan dia masih mencintaimu,"

Aku masih diam, menolak untuk bereaksi meski jantungku berdebar lebih cepat. Osya tidak boleh tahu perasaan senang yang menguar mengetahui kalau Ayres belum menikah dan masih menaruh hati padaku.

"Dia mau bertemu denganmu dan Li. Bagaimanapun Li adalah anaknya, temuilah dia." Disambarnya tanganku yang tersimpan di atas meja. Menggenggamnya dengan kuat seakan hendak meyakinkan bahwa menemui Ayres bukanlah hal yang salah.

Kutarik tangan perlahan. Melirik jam dinding di belakang kepala Osya. Sudah jam satu.

Bergegas kubangkit dari tempat duduk, menatap Osya tajam namun lembut. Dia sudah menyampaikan pesan dengan baik, tapi aku masih enggan menjawab untuk pesan yang disampaikannya. Akan kupikirkan sebelum menjawabnya nanti.

"Aku harus kembali kekantor. Jam istirahatku sudah selesai, Pak Osya." Sedikit kutundukan kepala hormat untuk pamit.

Osya menyandarkan punggung ke kursi kemudian mendesah pasrah. Mengibaskan tangan sebagai isyarat agar aku cepat berlalu dari hadapannya. Sedikit tersenyum, kuambil langkah cepat dengan pikiran yang berat.

Mengapa Ayres harus muncul lagi? Ini benar-benar meresahkan.

*******

Sudah jam dua, tapi Osya belum kembali ke kantor . Aku baru saja meletakkan amplop cokelat besar yang tadi Rose titipkan ke meja kerja di ruangannya. Kuletakkan sedemikian rupa agar bisa langsung terlihat oleh Osya.

Aku mengamati ruang kerjanya, tapi kemudian fokus ke atas meja. Ada sebuah bingkai foto di sana, yang semakin diamati justru membuatku makin penasaran.

Itu foto Li.

Bingkai itu cukup besar untuk ukuran meja, ada beberapa foto yang di rangkai bagai puzzle. Foto dari mulai Li baru lahir, ketika dia playgroup, taman kanak-kanak, dan hari pertamanya di sekolah dasar. Di bagian bawah bingkai tertulis dengan tinta emas : Li the strong one.

Aku mengulum senyum. Bahkan bukan fotonya sendiri atau gadis pujaannya yang ada di sana, tetapi Li.

Seingatku, Osya memang sangat perhatian pada Li. Pernah suatu saat ketika Li berusia tiga tahun dan badannya panas sampai gigi-gigi kecilnya gemeletuk. Osya bahkan lebih panik dan pucat dariku.

Waktu itu aku yang menyetir mobil ke rumah sakit karena dia terlalu tegang untuk menyetir. Osya yang memeluk Li dengan gemetar di bangku penumpang. Dia berteriak ke penjuru rumah sakit agar Li mendapat pertolongan lebih dulu, memaki ketika dokter begitu lama menangani, dan setelah masa kritis Li lewat, yang dia lakukan adalah meminta maaf pada dokter dan semua juru rawat atas perlakuan memalukan yang dilakukannya. Kemudian dia mentraktir semua sebagai ucapan terima kasih.

Osya yang berlebihan.

Senyumku tidak tertahan saat mengingat itu semua.

Segera kurapikan kembali bingkai yang sempat tersentuh agar kembali berdiri di tempatnya seperti semula. Setelah yakin semua sudah sempurna, aku berbalik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan dengan pintu yang lebih dulu didorong membuka dari arah luar.

Osya masuk dengan senyum lebar, membuatku secara spontan melayangkan senyum yang sama.

Namun senyum itu tidak bertahan lama ketika melihat wajah yang membuntutinya.

Aku tidak suka ini.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang