"Di sini saja," pintaku pada Ayres.
Ayres mengerem mobilnya dan menatap ke arahku dengan kening berkerut.
"Di sini?" Dia menatap ke luar jendela. Di luar sana memang sudah gelap dan sepi sebentar, lalu kembali menatapku masih dengan kening penuh kerut meminta kepastian.
"Iya di sini saja," kataku sambil melepas seat belt dari pengaitnya.
"Ini sudah malam, dan gelap." Ayres terdengar khawatir. Wajahnya masih seberantakan tadi, semakin menjadi karena aku memaksa untuk turun di ujung jalan.
Aku diam saja. Ayres kembali menatap ke luar yang memang sudah benar-benar gelap. Wajar, karena waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Ayres sudah hendak membuka mulutnya lagi ketika tiba-tiba kami di kejutkan dengan ketukan di jendela pada sisi bagianku.
Aku menoleh, dan tersenyum melihat siluet yang tidak asing. Serta merta tanganku memencet tombol kecil di bagian pintu, lalu kaca jendela itu perlahan turun menampakkan wajah Osya yang sedang menunduk tersenyum ke arah kami.
Ya, diam-diam tadi aku mengirimkan sms agar dia mau menungguku di pinggir jalan, jadi Ayres tidak perlu mengantarku sampai ke rumah.
"Hai, Bro!" sapanya kepada Ayres.
"Hai!" Ayres nampak kikuk. Lalu pandangannya kembali jatuh padaku.
Osya melakukan hal yang sama, menatapku dengan terus tersenyum.
"Pulang sekarang?" tanyanya. Lalu tangannya bergerak melalui kaca yang terbuka, untuk sekedar melakukan kebiasaannya, mengacak rambutku dengan perlahan.
"Iya," anggukku, kemudian mengalihkan pandangan pada Ayres. Dia sedang menunduk. Terlihat sekali kalau dia enggan melihat aku dan Osya.
"Terima kasih ya, Dokter ganteng." Aku mencoba menarik perhatiannya dengan memanggilnya dengan sebutan yang biasa digunakan oleh para pasiennya di desa tadi.
Serta merta Ayres mengangkat kepala. Dia tersenyum, walau terlihat dipaksakan.
"Sama-sama, Dokter cantik," katanya, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan sebelum menatap ke arah Osya. "Titip Kayya ya, Bro."
Osya tertawa. "Well Bro, ngga usah diminta juga dia selalu gue jagain." Lalu matanya beralih padaku. "Iya kan, Mama Li?" Ditambah satu kedipan yang membuatku salah tingkah.
Aku langsung menundukkan kepala, memutus pandangan mata Osya. Itu justru membuat Osya terkikik geli sambil kembali mengacak rambutku gemas. Aku bisa mendengar Ayres juga tertawa, tawa yang terdengar miris. Tawa pura-pura?
Aku segera membuka pintu dan berdiri bersisian dengan Osya.
"Thanks, Res." Osya menunduk lagi, menjangkau wajah Ayres dengan tatapannya.
Ayres menjawab dengan anggukan, lalu menekan pedal gasnya pelan dan berlalu meninggalkan kami.
"Terima kasih ya, Sya." Aku tersenyum ke arah Osya yang justru dibalas dengan cibiran.
"Bayar!" serunya sambil terkekeh dan menarik tanganku untuk menyusuri jalan yang---syukurnya---lampu jalannya sudah diganti, sehingga tidak lagi segelap tempo hari.
"Jadi, Ayres dokter ganteng dan kamu dokter cantik, ya?" Osya menoleh ke arahku, tangannya masih menggenggam tanganku sementara kami berjalan perlahan.
"Pada kenyataannya aku memang cantik dan Ayres memang ganteng, kan?" cengirku yang di sambut dengan gerutuan tidak terima Osya.
"Aku juga ganteng!" Dia terdengar merajuk. Wajahnya sudah kembali beralih ke jalan di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...