16

10.7K 1K 69
                                    

Osya menarik bibirnya perlahan, membuatku segera mengerjap dan membuka mata lebar.

"Sekali lagi ... selamat ulang tahun," bisiknya di telingaku.

Aku menengadah dan menemukan matanya yang sedang memperhatikan wajahku dengan seksama.

"Thanks," jawabku, merasakan hangat dengan semburat yang mungkin kemerahan di pipi.

"Bagaimana?" Osya bertanya sambil tersenyum jail.

"Bagaimana apanya?" Aku mengernyitkan kening, tidak mengerti dengan pertanyaannya.

"Is it good?"

"Apanya yang good?" Kutarik tubuh sedikit mundur, memberi ruang bagi tubuh kami untuk sedikit berjarak.

"Kiss?" Osya mengatakannya sambil terkekeh.

Aku memukul pundaknya perlahan sambil mendengkus kesal dan malu.

"Cepat pulang sana!" usirku dengan maksud bercanda.

"Jangan nagih, ya!" ejeknya sambil mengambil ponsel yang saat ini sedang berdering dari sakunya.

Aku merengut. Ini semakin dan semakin memalukan.

Kulirik Osya yang saat ini nampak sedang mendengarkan lawan bicaranya di telepon dengan serius. Dia berdiri agak menjauh. Wajahnya berubah dari santai menjadi mimik terkejut, kemudian berubah lagi menjadi cemas.

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Sudah nyaris tengah malam. Siapa kemungkinan yang menelepon Osya semalam ini?

Tidak lama, Osya menutup percakapannya dan kembali mendekat padaku. Dia mengembalikan ponsel ke saku lalu menatapku dengan bimbang.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Ayres," jawabnya pendek.

Aku sedikit terkejut ketika mengetahui dengan siapa dia bicara. Tapi aku malas bertanya lebih lanjut. Jadi aku hanya mengendikkan bahu, memberi isyarat bahwa aku malas membahas lebih lanjut.

"Ini mengenai ayahmu ...."

Seketika aku menjadi tertarik. Kutatap Osya dengan intens, menanti ucapan selanjutnya. Aku sudah lama tidak mendengar kabar tentang ayahku. Tentang keluargaku.

"Ada apa dengan Papa?" pancingku.

"Pakai pakaian gelap terbaikmu, kita akan berkabung ...."

*******

Langkah kakiku terasa berat memasuki pintu rumah. Rumah masa kecil, di mana dulu aku tinggal dan dibesarkan.

Osya menggendong Li yang masih setengah mengantuk, dan tangannya yang bebas merangkulku, membimbingku masuk.

Rumah ini masih terlihat sama dengan terakhir kali aku meninggalkannya. Tidak ada yang berubah sama sekali, termasuk letak setiap foto yang menempel di dinding. Fotoku juga masih di sana. Sama sekali tidak berubah. Perasaanku bercampur aduk. Aku ternyata tidak pernah dilupakan.

Banyak pasang mata nampak memperhatikanku dengan penuh tanya, haru, dan berbisik-bisik. Mungkin di mata mereka, aku terlihat seperti anak hilang yang kembali menemukan rumahnya.

Hal paling mendebarkan yang aku lihat begitu memasuki pintu rumah adalah peti jenazah di tengah ruangan. Aku tahu ada ayahku ada di dalamnya, dan kenyataan itu membuat hatiku terasa pedih. Rasanya semakin perih menjadi-jadi ketika melihat ibuku berdiri di sisi peti, menatap ke arahku dengan mata memerah dan wajah penuh kerinduan yang mendesak.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang