20

10K 949 53
                                    

"Sorry, gue kayaknya mau muntah!" Osya menutup mulut dengan telapak tangan dan susah payah bangkit dari tidurnya.

Aku mencoba membantu, tapi dia malah menepis tanganku dan menghambur ke kamar mandi.

Aku menatap Ayres dengan bibir mengerucut dan mata yang memanas. Membiarkannya mengetahui kalau aku sedang terluka karena perlakuan Osya.

Ayres tersenyum tipis. Tangannya bergerak seakan memberi isyarat agar aku bersabar. Kemudian menyusul Osya dan menutup pintu kamar mandi. Aku tidak dapat mendengar apapun.

Aku yang gelisah hanya bisa mondar-mandir dalam ruangan. Menunggu itu rasanya menyiksa.

Apa Osya selelah itu sampai dia bisa sebegitu lemah dan sakitnya?

Akhirnya pintu kamar mandi terbuka, Ayres muncul diikuti oleh Osya.

Osya menatapku, wajahnya basah, sepertinya baru dibasuh. Aku menatapnya dengan tegang.

Tiba-tiba senyumnya merekah. Dia berjalan mendahului Ayres, menuju ke arahku. Serta merta dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

"Kenapa tegang, Mama Li?" tanyanya sambil mengusap kepalaku lembut.

Aku meletakkan wajahku di atas bahu Osya. Ayres yang berdiri tak jauh di belakang Osya, terlihat memalingkan wajahnya, sepertinya dia enggan melihat kami berpelukan. Aku tidak ingin menerka-nerka perasaannya. Tidak mau tahu tepatnya.

Aku melilitkan tangan ke punggung Osya dan menghirup aroma parfum yang menguar dari leher dan tengkuknya. Baunya adalah campuran dari aroma kayu-kayuan dan citrus yang segar, berbaur dengan aroma mint dari shamponya. Seketika, aroma ini menjadi aroma favoritku.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyaku tanpa melepas pelukan.

"Iya, tentu saja," katanya. "Tadinya aku mau minta kamu supaya melarang dokter menemuiku, tapi kayaknya terlambat. Ayres sudah di sini."

Aku mengerutkan kening. Ada yang aneh. Ada yang salah. Aku menatap Ayres dari pelukan. Dia diam saja, hanya meletakkan jari telunjuk kanan di bibirnya. Ayres memintaku diam?

"Oh!" gumamku terdengar canggung sebagai tanggapan dari pernyataan Osya.

Osya melepas pelukan. Lalu menatapku dalam.

"Aku rasa Li sudah kangen berat sama aku. Benarkan, Mama Li?" Osya meraih kedua lenganku dan mengusap-usapnya perlahan.

Aku menatapnya dengan heran. Tapi aku mengangguk.

"Hmm, next week ... bilang ke Li aku bakal datang next week!" janjinya.

Aku menggigit bibir bawah. Osya kenapa? Aku mencoba mencari celah untuk menatap Ayres. Tapi tubuhnya terhalang oleh Osya. Jadi aku lagi-lagi mengangguk dengan segala pertanyaan dan rasa khawatir.

Ayres tiba-tiba sudah berdiri di sisi Osya. Dengan sengaja disenggolnya bahu Osya dengan lengannya perlahan.

"Pergi sekarang?" Ayres menggerakkan dagunya ke arah pintu.

"Ok, Bro!" Lalu Osya menatapku lagi. "Kami pergi dulu, ya. Ayres mengajakku kencan." Kemudian dia tertawa.

Aku turut tertawa dengan nada dan mimik aneh yang dipaksakan.

Mereka lalu melangkah melewatiku. Tapi Osya kembali menghentikan langkah dan berbalik.

"Ada yang lupa?" tanyaku.

"Reschedule semua jadwalku dua minggu ke depan. Aku mau istirahat," pintanya dengan senyum lebar.

Aku mematung. Aku rasa aku sedikit terguncang menyadari Osya mengulang semua yang pernah dia katakan sebelumnya. Seakan dia tidak mengingat semua itu.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang