8

16.1K 1.4K 111
                                    

Kutarik tangan Li sebelum tubuh kecilnya meluncur ke dalam pelukan Ayres. Aku tidak suka Ayres menyentuh Li.

"Ah!" Ayres mendesis kecewa ketika menyadari kalau aku yang menyebabkan Li menjauh dari pelukannya. Tapi sekejap kemudian, dia bangkit berdiri dan mengubah wajah kecewanya menjadi segaris senyuman.

Aku tidak menggubrisnya, wajahku langsung tertuju ke arah Li yang saat ini sedang menatapku dengan bingung, menanti penjelasan.

"Apa yang Mama katakan mengenai orang asing?" tanyaku selembut mungkin. Aku tidak ingin Li tahu kalau aku sebenarnya sedang marah.

Li menarik kedua ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum kemenangan. Mungkin karena dia berhasil mengingat perkataanku mengenai 'orang asing' dan merasa bangga.

"Tidak boleh bicara dan percaya pada orang asing!" serunya yakin. Aku mengangguk menyetujui jawabannya.

"Jadi apa yang Li lakukan barusan dengan Om ini, benar atau tidak?" Aku menunjuk Ayres dengan ekor mataku sekilas.

"Jangan salahkan dia." Ayres mencoba mengintrupsi pembicaraan antara aku dan Li. Dan aku tidak suka.

"Maaf, Pak," keluhku tanpa menatapnya ---aku masih fokus pada Li---, "sebaiknya anda ti ...."

"Namanya Om Ayres, Ma." Li menjawab sebelum aku sempat melanjutkan kalimatku. "Om Ayres itu Om-nya Lala, temen aku. Kami bertemu beberapa kali."

Mataku membulat terkejut, lalu berbalik menatap Ayres dengan pandangan menuduh.

Aku bisa melihat wajah menyesal Ayres. Dia paling tahu kalau aku tidak suka segala sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Dan dia, berani-beraninya bertemu Li di belakangku? Memangnya dia siapa? Apa saja yang sudah dikatakannya pada Li? Apa dia berusaha mengatakan pada Li kalau dia ayahnya? Kalau dia sampai mengatakan itu ....

"Aku tidak bermaksud ...."

Aku langsung memotong ucapannya. "Apa Li tahu? Li tahu?" Suaraku sedikit menggeram. Entah kapan aku melangkah mendekati Ayres, sehingga geramanku berbisik tepat di telinganya. Aku yakin Li tidak mendengar kami.

"Tidak." Ayres menjawab cepat dan tegas.

"Baiklah." Kuhela napas dan mundur teratur, kembali ke sisi Li dan menggandeng tangannya.

Wajahku yang masam cepat kuganti dengan senyuman tulus yang palsu.

"Maafkan saya Pak ... Ayres?" Aku menatap Li seakan mengkonfirmasi kebenaran sebuah nama.

Li mengangguk, dia meyakinkanku bahwa aku tidak salah sebut nama. Aku kembali menatap Ayres setelah tersenyum penuh rasa terima kasih pada Li.

"Saya tidak tahu kalau anda salah satu Om dari murid di sini. Perkenalkan," kuulurkan tanganku ke arah Ayres seakan kami orang asing, "saya Kayya, Ibunya Li."

Ayres menyipitkan matanya ke arahku. Dia sepertinya mau protes. Aku melebarkan senyumku tetap dengan tangan terulur.

"Dia Mama aku, Om." Li berkata dengan bersemangat.

"Oh!" Ayres tersenyum sekilas ke arah Li sebelum meraih tanganku, melanjutkan drama yang sudah kumulai. "Ayres," katanya memperkenalkan diri.

Canggung. Ini pertama kalinya tangan kami kembali bersentuhan setelah sekian lama. Jantungku berdebar cepat. Aku tidak mengerti mengapa, tapi aku tidak mau menerka-nerka.

"Papa!"

Aku cepat menarik tanganku ketika mendengar teriakan Li. Dia menarik tangannya dari genggamanku dan berlari ke arah belakang.

Serta merta mataku dan Ayres mengikuti arah Li berlari. Osya berdiri tidak jauh di belakang kami. Dia berlutut dengan tangan merentang lebar, menanti sampai Li menghujam masuk kepelukannya.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang