Jika aku mengingat masa sembilan tahun yang lalu, saat Osya menemukanku di tepi jalan dengan kepala tertunduk dan isak yang menjadi-jadi. Tidak ada kata yang bisa melebihi kata terima kasih bertubi-tubiku untuknya.
Itu adalah hari di mana aku hanya bisa tertunduk dengan tubuh yang gemetar di hadapan kedua orang tuaku setelah membuat pengakuan tentang janin tiga bulan di perutku.
Aku ingat bagaimana makian ayah dan tangisan kecewa ibu. Aku ingat bagaimana ayah menyeretku dengan kesal dan mulai menghujaniku dengan tamparan, yang kalau saja saat itu Ken---adik lelakiku---tidak meraih dan menahan tangan ayah, mungkin aku sudah pingsan tidak sadarkan diri.
Aku ingat bagaimana suara ayah membahana saat mengusirku keluar dari rumah. Aku, tujuh belas tahun, tanpa uang, tanpa tempat tinggal, tanpa seseorang di sisiku dengan perut yang membesar, hanya mampu berdiam diri dengan lelehan air mata di tepi jalan. Tanpa tujuan, tanpa rencana.
Sampai ketika sepasang kaki bersepatu kets muncul di hadapan tundukku.
"Kayya!"
Aku ingat sekali, saat itu aku mendongak dan melihat Osya berdiri di sana, menunduk menatapku dengan tidak percaya dan iba.
"Kamu nangis? Kenapa?"
Aku bahkan tidak mampu menjawab. Isakku malah semakin keras.
Aku tahu Osya, dia kakak kelasku di sekolah menengah atas. Aku beberapa kali melihatnya sebagai bagian dari siswa-siswa populer di sekolah. Yang aku tidak tahu adalah, kenyataan kalau sejak hari itu---hari di mana dia menemukanku di tepi jalan dalam keadaan berantakan---, bahwa dia akan selalu menjadi malaikat pelindungku, bahkan sampai saat ini.
Sampai hari ini. Ini hari sabtu, Osya sama sekali tidak menolak ketika aku memintanya menjaga Li karena dia tahu kalau aku akan bersama Ayres. Li menolak dititipkan ke daycare dan enggan bersama Tya di akhir pekan.
Bahkan Osya dengan jailnya berbisik di telingaku sebelum aku keluar dari rumah tadi, mendoakan agar kencanku dengan Ayres sukses. Doa jail yang sukses membuat cubitan kesalku mendarat di pinggangnya. Membuatnya mengaduh, tapi tidak membuat tawa meledeknya sirna.
Li terkekeh melihat kami. Anak itu tidak paham, dan selalu menyangka kalau kami memang seromantis itu. Drama.
Saat ini, ketika aku terduduk dengan kaku di mobil Ayres, lelaki itu melirikku dari kaca tengah mobilnya. Ayres terlihat kasual dengan kemeja flanel yang dilipat sesiku dan jean.
Dia berdeham meminta perhatian, sehingga mau tidak mau aku membalas tatapannya melalui kaca yang sama sembari melempar segaris senyum.
"Aku ingin sekali bertanya tentang sesuatu, tapi aku sangat khawatir jika itu akan merusak suasana yang sudah ... hmm ... cukup kondusif seperti ini." Canggung.
Aku menahan tawa yang hampir meledak demi mendengar pilihan katanya. Teratur. Kaku. Apa seorang dokter selalu sekaku ini? Ayres dulu terlihat lebih luwes.
"Apa ada yang lucu?"
Oh! Ternyata dia memperhatikan gelak tertahan yang sudah berusaha kusembunyikan dengan menunduk.
Aku menggeleng, dengan bibir yang kugigit keras agar tawa tidak meledak.
"Nanti bibirnya luka." Ayres terdengar khawatir. "Jangan digigit. Kalau memang aku terlihat lucu, kamu boleh tertawa." Lagi, dia melirikku dari kaca tengah. Wajahnya terlihat cemas berlebihan.
"Ya ampun Ayres, kamu benar-benar lucu!" Akhirnya tawaku benar-benar lepas.
"Dan kau benar-benar ... cute."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...