6

16.7K 1.4K 49
                                    

Aku terpingkal melihat Ayres yang mulai berkeringat.

"Aku bercanda, Ayres!" gelakku menahan tawa. Osya juga mengikik tertahan, sementara Ayres tetap dengan tampang bersalah dan seriusnya.

Sudah seharusnya dia merasa bersalah. Aku terpingkal agar suasana kembali cair.

"Ini tidak lucu, Kayya," ucapnya getir lalu meneguk es teh manis dari gelas hingga tandas, mengambil tisu dan menyeka keningnya yang berkeringat.

"Itu lucu, Ayres! Andai kamu lihat bagaimana tampangmu tadi!" kataku lagi sambil membekap mulut sendiri dengan tangan, berusaha menghentikan tawa yang mulai tersedak-sedak.

"Itu lucu, Bro!" Tawa Osya mulai terkendali, dia menepuk-nepuk punggung Ayres pelan seakan meyakinkan kalau dia memang terlihat lucu.

Ayres diam saja, dia hanya menatapku dengan pandangan yang tidak dapat kudeskripsikan. Tapi aku yakin kalau dia sudah kehilangan selera makannya sekarang.

Seandainya dia tahu, kalau selera makanku juga sudah hilang sejak melihatnya muncul di kantor tadi pagi. Sial!

*******

Kamu hebat, Kayya!

Aku mendengkus membaca sms dari Osya, kemudian meletakkan ponsel ke meja dan kembali berkutat dengan laptop. Tidak lama ponselku kembali berbunyi.

Sms lagi.

Aku minta maaf, Kayya. Untuk mimpimu menjadi seorang dokter yang tidak terwujud. Aku akan menebusnya.

Ini dari Ayres. Aku mengangkat sebelah alis, mengulang membaca pesannya dan melempar senyum sinis.

Apa ada cara agar aku bisa menjadi seorang dokter, Ayres? Jangan membuatku tertawa.

Ketikku lalu mengirim pesan balasan. Sebagaimana kuduga, Ayres membalas pesanku secepat kilat.

Sabtu libur? Ikut aku ya?

Aku mengerutkan kening, mengira-ngira apa sebenarnya yang akan dilakukan Ayres. Mau kemana kami sabtu ini? Bagaimana caranya menebus kesalahan?

Aku mengirimkan jawaban, meletakkan ponsel ke meja, lalu kembali berkutat dengan laptop.

Aku memutuskan berkonsentrasi dengan pekerjaan dulu, mengesampingkan Ayres sejenak. Aku ingin pulang dan segera bertemu Li.

*******

Untuk mencapai rumah, begitu turun dari bus aku harus berjalan kaki sekitar seratus meter. Jalan ke arah rumah tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk sebuah mobil. Kadang Osya akan mengantarku pulang jika dia hendak mampir untuk menjenguk Li. Tapi kadang, seperti hari ini, aku pulang sendirian.

Langit baru saja beranjak gelap ketika aku turun dari bus. Langkah yang baru mengayun seketika terhenti, ketika menyadari bahwa beberapa lampu jalan mati. Suasana yang biasanya terang benderang menjadi gulita.

Hal terbaik yang bisa kulakukan adalah berjalan cepat sampai sedikit berlari. Ini benar-benar sangat tidak menyenangkan, rumahku entah mengapa terasa sangat jauh sekarang.

Aku melangkah lebar sambil memeluk tas, menggigir bibir karena cemas dan was was.

Cahaya benderang dari arah belakang mendadak menyorot ke jalan di depanku, membuatku mampu menyapu keadaan sekitar dengan jelas.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang