Menjadi anak-anak sungguh adalah hal yang menyenangkan. Seperti Li yang beberapa hari terakhir ini bisa langsung sangat akrab dengan Ken dan ibu.
Sudah seminggu ini aku dan Li memutuskan untuk menginap dan rencananya hari ini kami akan pulang, mengingat besok Li akan mulai sekolah di sekolah baru.
Ibuku juga sudah terlihat baik-baik saja. Sesekali dia masih terlihat bersedih ketika mengingat ayah, tapi dia sudah mulai bisa menguasai diri.
"Kalian jadi pulang hari ini?" Ibu mulai menyusun piring untuk sarapan sementara aku mulai menata nasi goreng, telur mata sapi, dan kerupuk di meja.
"Iya, Ma," sahutku, "besok Li sudah mulai sekolah."
Ibu mengangguk-angguk.
"Kenapa kalian enggak tinggal di sini saja?" tanyanya pelan. Pertanyaan yang membuatku menghentikan kegiatan sejenak untuk sekedar menatapnya. Lalu tanganku mulai bergerak lagi.
"Di sini jauh dari sekolah Li." Aku memberi alasan. "Dari kantorku juga jauh, Ma."
Aku sudah selesai menata sarapan di meja. Ibuku juga sudah duduk di salah satu kursi makan dengan wajah merengut. Sepertinya dia bersedih.
Aku menghampiri dan menarik kursi di sebelahnya, meraih tangannya dan menyembunyikan dalam genggamanku.
"Kayya dan Li bakal sering-sering main ke sini," hiburku. "Lagian Li kayaknya udah jadi soulmate dengan Ken." Aku terkekeh mengingat bagaimana Li memperlakukan omnya sebagai kuda-kudaan, atau memonopoli televisi di kamar Ken dengan film kartun. Dan Ken menyetujui semuanya tanpa bantahan. Asal Li senang.
"Baru kali ini loh, Kayya bisa liat Li sangat dekat dengan orang lain selain Osya," lanjutku sambil tersenyum ke arah ibu.
Ibuku balas tersenyum, lalu membalik telapak tangannya, ganti menyembunyikan milikku dalam genggamannya.
"Kamu dengan Osya ada hubungan apa? Bagaimana bisa Li memanggilnya Papa? Kalian pacaran?" Suara ibu terdengar lembut, aku tahu dia penasaran, tapi pertanyaannya tidak mendesak.
Jadi, aku tidak langsung menjawab. Aku sendiri menjadi ragu tentang hubungan kami sejak kami berciuman minggu lalu. Tidak ada pembahasan apapun setelah itu. Mungkinkah memang tidak ada waktu, karena setelahnya aku langsung berkabung?
Mau tidak mau aku menggelengkan kepala. "Kami hanya berteman," jawabku. Aku tidak berbohong, kami memang berteman, kan?
"Sampai anakmu memanggilnya Papa begitu, kalian hanya berteman? Yakin?" Ibu tidak begitu saja percaya.
Aku menghela napas. "Dia yang membantuku dulu pada masa sulit. Sebenarnya, dia kakak kelas aku."
Ibu mengangkat kedua alisnya.
"Saat aku sedih, senang, saat aku melahirkan Li, saat aku membutuhkan pekerjaan, tempat tinggal, saat Li sakit. Bahkan dia membiarkan Li memanggilnya Papa. Dia selalu ada." Aku menghela napasku lagi. Mengingat semua kebaikan Osya yang seakan tidak ada habisnya.
"Sebegitu baiknya?" Ibu menatapku dengan kening berkerut.
"Aku bahkan enggak tau kalau di dunia ini ada orang sebaik itu, sampai aku bertemu Osya." Aku mengangguk meyakinkan ibu bahwa memang sebaik itulah Osya.
"Lalu Ayres? Apa Li tau kalau dia Ayahnya?" Kali ini ibu bertanya dengan nada yang sungguh penasaran, terdengar agak mendesak.
Aku mendengkus kasar dan menarik tanganku dari genggaman untuk kemudian menyembunyikannya di pangkuanku, sambil mengalihkan pandangan ke taman samping rumah yang memang juga terlihat jelas dari ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...