Aku berlarian menuju ruang praktek dokter Thomas, aku sudah berjanji pada Osya untuk menemaninya berkonsultasi hari ini. Tapi kegiatan di kantor menyita waktu lebih lama dari yang kuduga. Pak Anwar, direktur yang ditunjuk Osya untuk menggantikan posisinya sementara waktu, memintaku mem-briefing rancangan kerja Osya sedetil mungkin. Dan itu lama.
Pintu ruang praktek Thomas kuketuk tiga kali dengan tergesa dan kubuka tanpa menunggu jawaban.
Tiga pasang mata serempak menoleh ke arahku. Osya, Thomas, dan Ayres.
"Maaf," kataku kikuk sambil menutup pintu.
"Enggak masalah. Kamu calonnya Osya, kan? Nah, penting buat kamu untuk mendengarkan ini." Thomas menggerakkan tangan, memintaku mendekat.
Ayres berdiri dari duduknya dengan pengertian. Lalu mempersilakanku duduk di tempatnya.
Osya memperhatikan setiap pergerakan dengan seksama dan langsung meraih tanganku dalam genggaman begitu aku duduk di sisinya.
"Lama banget," bisiknya.
"Pak Anwar minta di-briefing tadi," laporku dengan sedikit mengeluh. Osya mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Jadi begini ...."Thomas mulai berbicara. Aku dan Osya mengalihkan pandangan kami padanya. Osya masih mengaitkan jemarinya pada jemariku. Tangan kami bertautan di bawah meja.
"Hal pertama yang harus dilakukan adalah operasi untuk mengangkat sel tumor sebanyak mungkin. Setelah itu kita akan melakukan perawatan dengan kemoterapi atau radioterapi." Thomas menjelaskan.
"Kalau kalian setuju, aku akan segera menghubungi ahli bedah kami dokter Tan untuk menjadwalkan operasi sesegera mungkin."
Osya meremas tanganku. Aku menatapnya dengan senyum, berusaha menenangkan. Aku butuh second opinion, maka aku mengalihkan pandangan pada Ayres yang sejak tadi berdiri tepat di sampingku.
"Itu pilihan terbaik," kata Ayres ketika sadar aku menatapnya mengharapkan opini. "Dia ahli bedah terbaik di rumah sakit kami," tambahnya.
Aku mengangguk tanda mengerti, lalu kembali menatap Osya.
"Kamu mau melakukannya? Aku akan mendukung, apapun pilihanmu," kataku sambil menangkup tanganku yang bebas ke atas tangan yang menggenggamku.
Osya nampak ragu. Jarang sekali dia mengambil keputusan dengan begitu lambat. Biasanya dia adalah pengambil keputusan yang tepat dan cepat.
"Apa aku akan sembuh jika aku melakukan operasi?" Osya bertanya kepada Thomas.
Thomas menghela napas panjang. Dia menatap Osya dan aku bergantian.
"Aku harus jujur, tumor otak yang Osya derita sudah masuk dalam stadium yang bisa disebut dengan kanker. Operasi bisa jadi menyembuhkan, bisa juga memperpanjang usia. Tapi kami akan melakukan yang terbaik yang kami bisa. Perawatan setelah operasi juga sangat menentukan," jelas Thomas panjang dan lebar.
Aku merasa sesak. Jadi operasi itu pun tidak bisa menjamin apa pun seratus persen? Jadi semua masih kemungkinan?
Kalau saja saat ini tidak ada Osya, kemungkinan aku akan menjerit karena frustrasi. Remasan Osya semakin kuat.
Kuat, Kayya. Kuat.
Aku menahan napas, yang kuembuskan perlahan ketika merasakan sebuah tangan meremas pundak kiriku. Seakan hendak mentransfer kekuatan ekstra untuk menghadapi semua ini.
"Kita harus mencoba berbagai cara dan kemungkinan bukan?" Ayres berbicara. Lalu tangan itu, yang kuduga adalah tangannya, melonggarkan remasan di pundakku, menggantinya dengan tepukkan perlahan sebelum benar-benar lepas dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...