Aku menundukkan kepala ketika Osya melintas di hadapan meja kerjaku. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk bersikap biasa. Tapi setiap kali melihat Osya, yang terlintas adalah kejadian itu. Kejadian ketika dia mengatakan bahwa kami hanyalah berteman dan bagaimana dia menyesal karena telah menciumku.
Tadinya aku pikir Osya akan langsung masuk ke ruangannya. Tapi dia malah menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku.
"Hmm, Kayya ...."
"Oh, iya?" Aku menengadah terkejut ketika dia menyapa.
"Apa kamu bisa memundurkan semua jadwal meetingku untuk dua minggu ke depan?" pintanya.
"Baik," jawabku tanpa banyak tanya, lalu kembali menunduk seakan berkonsentrasi pada layar laptop.
"Kayya."
"Ya, Pak?" Aku menengadah lagi untuk menyahut.
"Nanti dokterku akan menelepon atau mungkin juga akan datang. Apa kamu bisa mengatakan saja kalau aku enggak ada?"
Aku mengerutkan kening. Dokter? Apa dia sakit? Dia memang terlihat agak pucat dan sedikit kurusan. Tapi menurutku, dia masih terlihat sehat.
"Cuma untuk check up biasa." Osya menjelaskan seakan bisa membaca pikiran. "Papaku agak memaksa, soalnya aku sudah lama tidak check up secara rutin."
Oh!
"Baik, Pak," jawabku lagi tanpa banyak bertanya.
Osya membalik tubuh, sepertinya akan kembali ke ruangannya. Menatapi punggung itu dari belakang membuatku menghela napas. Rasanya aneh tidak melihatnya di rumah sejak kejadian tempo hari.
Tapi sepertinya aku salah. alih-alih kembali ke ruangan, dia justru berbalik dan menangkap basah mataku yang sedang memandangi sosoknya dari belakang. membuatku jadi salah tingkah.
Osya tersenyum. Aku rasa saat ini pipiku sedang memerah karena malu.
"Bagaimana Li di sekolah barunya? Aman?" tanyanya.
"Dia baik," jawabku cepat.
"Dia menanyakanku enggak? Kira-kira dia kangen enggak?"
Aku yang kangen kamu.
"Aku bilang kamu ke luar kota. Jadi dia enggak banyak tanya," jawabku lagi berharap percakapan basa-basi ini segera berakhir.
Osya mengusap tengkuknya, seperti sedang berpikir.
"Katakan padanya aku akan pulang minggu depan, ya. Rasa aku bisa datang minggu depan."
Aku tercekat. Ingin mengatakan sesuatu tapi kata-kata itu malah tersangkut begitu saja di ujung lidah.
"Itu kalau kamu mengizinkan." Osya memiringkan kepala menatapku.
Aku menelan liur dengan susah payah. Pandangannya seperti menelanku bulat-bulat. Semua perempuan akan salah sangka kalau dipandang seperti itu. Osya sama sekali tidak membantuku untuk dapat melupakan perasaan padanya. Yang ada hatiku jadi semakin campur aduk.
"Kamu bisa datang kapan saja. Kamu kan punya kunci rumah," jawabku sambil menunduk memutus tatapan.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Mama Li." Aku bisa mendengar langkahnya menjauh. "Kmau masih saja menggemaskan." Lalu pintu itu menutup.
Aku menghela napas lega. dan merengut mengingat kalimat terakhirnya barusan.
Semenggemaskan apa pun, rasanya aku tetap saja hanya akan menjadi seorang teman.
Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan berat serta kasar. Mencoba mengembalikan kesadaranku. Aku yang bukan siapa-siapa.
"Mba Kayya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...