Ini sudah hari ketiga Osya di rumah sakit, artinya sudah lima hari kami menikah dan Osya masih belum mau menemuiku. Aku sendirian dan kesepian di rumah besarnya.
Aku sungguh merindukan Li, tapi aku tahu, adalah keputusan yang tepat menitipkannya pada Ibu di saat-saat seperti ini.
Aku berantakan dalam arti sebenarnya. Kalau biasanya aku terlihat modis dengan rambut yang digerai rapi, beberapa hari belakangan rambut dengan cepolan yang tidak rapi sungguh terasa nyaman. Kaus Osya yang longgar di tubuh dan jean model pensil. Kurasa celana jean model ini sedikit menyelamatkanku dari cacat fashion yang sesungguhnya. Aku mengenakan kaus Osya, karena aku merindukan aroma khas parfumnya. Aku rindu pelukannya. Sungguh.
Dengan enggan kutatap sosis di meja makan. Sama sekali tidak berselera. Tadinya kupikir jika sosis-sosis itu dipotong sekecil dan setipis mungkin, aku akan mampu melahapnya tanpa perlu mengunyah. Tapi ternyata salah, karena untuk menyentuhnya saja aku malas.
Aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin Osya masih juga tidak mau menemuiku. Apa karena alasan itu? Karena rencana itu? Rencana balas dendamku dulu? Aku pikir kami telah baik-baik saja dan melupakannya. Tapi, kalau karena alasan itu dia menolak menemuiku, ini tidak adil.
Ini dendamku, bukan dendamnya!
Dan menyesal menikahiku? Bukankah itu perkataan yang sangat kejam?
Aku mengepal kedua tangan erat di atas meja makan. Tepat ketika jam dinding berdentang sebanyak tujuh kali. Mataku memejam erat, menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali lewat mulut. Dentang jam terdengar layaknya soundtrack untuk rasa kalutku.
Ditolak seperti ini, lagi, rasanya menyakitkan.
Jika memang Osya benar menginginkan aku melakukan pembalasan dendam sebagai syarat untuk dapat menemuinya, maka akan kulakukan. Jika beberapa hari lalu aku menampar Ayres dengan keras, maka dalam waktu dekat bukan tidak mungkin bagiku untuk membuatnya lebih menderita.
Dasar biang kerok!
Aku membuka mata dengan cepat, bangkit dari duduk, mengambil kunci mobil di atas nakas, dan tergesa menuju garasi mobil. Aku akan ke rumah sakit, berusaha menemui Osya. Aku harap kali ini berhasil. Aku merindukannya.
Kami pasangan pengantin baru ....
Ya Tuhan, please ....
***
Aku memacu gas mobil di jalan yang lumayan lengang malam ini. Dalam tiga hari terakhir yang kulakukan adalah mengunjungi Osya di pagi hari, dan ditolak. Lalu mencobanya lagi di malam hari, dan kembali gagal.
Ini malam ketiga, aku berharap peruntunganku malam ini menjadi lebih baik.
Aku mengemudi dengan kecepatan sedang dan stabil. Walau pikiranku kusut dan kacau, aku masih memiliki otak untuk tidak membuat kekacauan di jalan. Aku tidak mungkin menabrakkan diri ke trotoar atau besi lampu jalan, walau aku menginginkannya, kan?
Aku menginjak rem tepat ketika lampu lalu lintas menyala merah. Pandanganku nanar menatap kendaraan yang hilir mudik dari arah-arah yang berlawanan. Lampu-lampu dari tiap kendaraan berpendar dengan cahaya-cahaya daripenerang jalan dan gedung sekitar.
Ah, aku merasa kosong.
Tanganku bergerak menekan tombol audio, menyetel radio. Lagu Your Call dari Secondhand Serenade, mengalun perlahan. Dan entah mengapa ini terdengar menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...