21 (Ayres)

10.9K 1K 54
                                    

Aku memandang Osya yang duduk di hadapanku. Kami sedang di ruang kerjaku di rumah sakit.

Manusia di hadapanku ini sungguh keras kepala. Sejak dia mengetahui ada yang salah dengan kepala dan otaknya, dia masih juga menolak untuk perawatan dan tindakan.

Alasannya? Enggak ada!

Aku memang bukan dokter yang ahli mengenai otak atau kepala karena memang dia dirujuk ke spesialis penyakit dalam karena keluhan mengenai mual dan muntah yang tidak wajar. Dan setelah dilakukukan observasi, ternyata itu ada kaitan dengan otaknya.

"Lo harus ke neurologist sekarang," kataku sambil mencondongkan tubuh hingga menyentuh meja.

Osya mengangkat kepala dan tersenyum tipis ke arahku.

"Ketemu dokter-dokter spesialis sialan itu, cuma bakal bikin gue sadar kalau gue bakal segera mati." Dia mengembuskan napasnya perlahan.

"Atau membuat lo sadar kalau lo masih ada harapan hidup?" sanggahku, lalu menyandarkan tubuh sambil melipat tangan di depan dada.

"Berat, Bro, sakit kepalanya dah kemana-mana." Osya mengalihkan pandangannya ke langit-langit, sepertinya dia menahan air mata agar tidak jatuh. "Dan lo belum juga bisa settle dengan Kayya. Ya ampun, Bro ... susah banget ya?"

"Susahlah, selama lo masih nempel-nempel." Aku tergelak, tapi Osya malah menatapku muram. Aku segera menghentikan tawa dan menatapnya dengan tatapan meminta maaf.

"Sorry ...," desisku menyesal. "Lagian udah ga bisa lagi Sya, Kayya sama sekali sudah tidak ada perasaan sama gue," keluhku pasrah.

Osya menggeleng. "Masih ada. Kalau enggak, lo bakalan udah abis sama dia sejak awal."

Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Skenario balas dendam Kayya padaku yang selalu didukung Osya, hanya berakhir sebatas kata tanpa pernah dia benar-benar lakukan.

Mungkin benar dia masih ada perasaan padaku. Tapi bukan cinta. Aku melihat cinta di matanya setiap kali dia dan Osya bersama. Bisa jadi perasaan Kayya padaku hanya sebatas karena adanya Li. Tidak lebih.

"Bisa enggak kita berhenti ngomongin Kayya?" tanyaku sedikit memohon.

"Gue cuma ga pengen Kayya sedih, Res." Osya bergumam pasrah. Si manusia populer zaman sekolahan ini, sebegitu lemahnya di hadapanku. Dia berkali-kali menghela napas, berkali-kali menjatuhkan bahu, berkali-kali menunduk. Bukan Osya yang kukenal.

"Gue enggak pengen anak gue sedih karena dia kehilangan Papanya," ucapku pelan.

"Lo Papanya ...."

"Enggak! Li cuma tau lo Papanya." Aku terdengar getir. Sebenarnya sedikit sakit mengatakan hal ini. Tapi kenyataannya memang begitu.

"Ahhh!" Osya mengusap wajah kasar dengan telapak tangan. Dia terlihat berantakkan dan terpukul. Aku tahu, selain Kayya, Li adalah segalanya buat Osya. Kami memiliki orang-orang kesayangan yang sama. Kayya dan Li. Hanya saja, di sini Osya adalah si protagonis, sedangkan aku si antagonis.

Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk tiga kali. Kemudian sebuah kepala melongok dari baliknya.

Itu Thomas, neurologist di rumah sakit kami.

"Hai!" sapanya sebelum masuk ke dalam ruangan.

Aku mengangguk mengizinkannya masuk.

Thomas langsung masuk dan segera berdiri di sisiku. Aku sebelumnya sudah menginformasikan padanya mengenai Osya. Aku sudah memberikan padanya juga hasil CT scan yang pernah Osya ambil dulu sesuai dengan rujukanku.

KAYYA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang