"Papa!"
Teriakkan Li dari ruang depan mau tidak mau membuatku meletakkan spatula, mengecilkan api di atas kompor, lalu tergopoh berlari ke depan, hendak turut serta menyambut seseorang yang baru datang.
Aku tersenyum ketika mendapati Li sedang memeluk seorang pria tegap, mereka sedang saling menggoda dan melempar senyum.
"Hai, Osya!" sapaku lalu mendekat.
Osya melepaskan pelukannya pada Li lalu bangkit berdiri dan mengangkat sebuah plastik, yang dari baunya bisa kutebak adalah martabak keju.
"Thank you, seharusnya kamu enggak perlu repot-repot." Aku meraih bungkusan, lalu mengecup pipinya sekilas tanda terima kasih.
"Bukan buat kamu, itu buat Li. Iya kan, Li?" Tangannya bergerak dan menggelitik pinggang Li. Anak lelaki delapan tahun itu tertawa histeris, antara geli dan kegirangan.
Sekali lagi aku tersenyum melihat keakraban mereka, lalu berlalu ke belakang untuk menyajikan martabak di atas meja makan dan melanjutkan acara memasak yang sempat terhenti.
Baru saja aku mematikan kompor dan melepas celemek ketika Osya sudah berdiri bersandar di kusen pintu.
"Tumben pulang cepat?" tanyanya.
"Sengaja, aku lagi mau masak. Lagi pula tadi pekerjaan sudah selesai," jawabku sambil menata satu-persatu ayam goreng ke atas piring saji, lalu berjalan melewati Osya menuju ruang makan untuk menyajikannya ke atas meja.
Osya mengikuti dan langsung duduk disalah satu kursi, mengamati masakanku dengan takjub.
"Kamu jarang masak, tapi sekalinya masak jadi masterpiece," pujinya, sembari menggerakkan tangan hendak meraih potongan ayam, tapi langsung kutepis.
"Aku enggak mau Li nyontoh yang enggak baik," tegurku.
Osya memutar bola mata sembari menggerutu tidak senang.
"Kan Li lagi enggak ada." Tangannya mulai begerak lagi ketika pangeran kecilku muncul di ruang makan.
Serta merta Osya menarik tangannya, lalu meletakkannya dengan manis di atas meja, urung melanjutkan aksinya mencomot ayam goreng. kukulum tsenyum melihat tingkahnya.
Osya dua tahun di atasku, kakak kelasku dulu. Dia Lulus ketika aku naik ke kelas sebelas. Lalu kami bertemu kembali tidak lama setelahnya melalui cara yang tidak terduga.
"Wah, ayam goreng!" Li langsung mengambil duduk di sisi Osya. "Aku lapar, Ma." Dibaliknya piring yang kususun telungkup di atas meja. Digenggamnya sendok dan garpu di kedua tangan, menunggu aku menyendokkan nasi ke atas piring.
"Aku juga, Ma!" Osya melakukan hal yang sama. Membalik piring, memegang sendok garpu, dan menungguku menyendokkan nasi kepiringnya.
Kalau seperti ini, semua orang pasti akan berpikir bahwa kami adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak lelaki kami. Padahal kenyataannya tidak begitu.
Kucedok nasi ke masing-masing piring mereka, membantu Li mengambil dada ayam kesukaannya, dan menyajikan paha ayam favorit Osya kepiringnya. Baru setelahnya kulayani diri sendiri. Mereka makan dengan lahap, sesekali tangan Osya mengacak atau membelai rambut Li.
Sejujurnya ... aku merasa miris setiap kali melihat mereka seperti ini. Aku tidak pernah tega mengatakan pada Li kalau Osya bukan ayahnya. Aku juga paham, meski Osya tidak mengatakan apa pun, tapi kehadiran kami merupakan beban baginya.
Bagaimana tidak? Beberapa kali Osya mencoba berhubungan dengan wanita, dan selalu kandas ketika mereka mengetahui keberadaan kami. Mungkinkah kehadiran kami bagai benalu di mata mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...