"Memang Osya kemana?" ketusku ketika sedan Ayres sudah meninggalkan rumah ibuku.
"Dia sedang ada urusan." Ayres menatapku dari kaca tengah mobil.
Aku memang sengaja memilih duduk di belakang, sementara Li duduk di bangku penumpang bagian depan.
"Memang, Om temennya Papa?" Li bertanya sambil mengotak atik tombol audio.
"Iya." Ayres tersenyum sekilas ke arah Li sebelum melempar kembali pandangannya ke jalan. "Dan sekarang juga jadi teman Mamamu," lanjutnya.
Aku diam saja. Mataku menatap ke arah Li. Dia masih memainkan tombol-tombol di audio.
"Oh begitu ya, Om?" Li menatap Ayres sekilas lalu kembali dengan kegiatannya mengotak-atik. Sepertinya dia lupa atau tidak mau ambil pusing dengan kejadian di sekolah lamanya dulu. Saat itu, aku dan Ayres berakting seperti tidak saling mengenal. Li tidak mempertanyakan apa pun. Bisa jadi karena dia masih anak-anak, jadi dia sedikit tidak peduli.
"Jangan diotak atik gitu, Li. Nanti rusak." Aku memperingatkan ketika Li semakin bersemangat memutar-mutar tombol.
Serta merta Li menarik tangannya. Wajahnya merengut karena kecewa.
"Biarin aja sih, Kay." Ayres terlihat membela Li sembari menatapku dari kaca tengah.
"Dia tidak boleh mengotak-atik barang orang lain!" ketusku lagi.
"Aku bukan orang lain ...." Ayres menggantung kalimat ketika aku menghujamnya dengan pandangan memperingatkan. Dia menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar.
Ditatapnya Li yang sedang cemberut, kemudian tangan kirinya bergerak mengelus kepalanya dengan sayang.
"Are you, ok?" tanya Ayres pada Li dengan lembut.
Li mengangkat kepala menatap Ayres, lalu mengangguk.
"Good boy." Ayres kembali berkonsentrasi dengan jalan di depannya.
"Sebenarnya Om enggak akan marah kok kalau kamu mainin tombol-tombolnya. Tapi bagaimanapun Mama selalu tau yang terbaik, jadi kamu harus selalu dengar kata Mama ya. Itu harus." Ayres menasehati, dan Li mendengarnya dengan antusias.
"Iya, Om," jawab Li pelan.
Ayres kembali mengacak rambut Li dengan gemas.
Ck! Playing good Dad!
Malas ambil pusing dengan obrolan Ayres dan Li selanjutnya, aku mengambil ponsel dari dalam tas. Mencoba meninggalkan pesan di whatsapp messenger Osya.
Tapi pesan itu hanya terkirim tanpa dibaca meski aku sudah menunggu sekian menit. Aku jadi gelisah. Memangnya urusan sepenting apa sih sampai Osya tidak datang menjemput? Dan kenapa juga dia minta Ayres yang menjemput? Padahal kalau dia memberi kabar, dari pada dijemput Ayres, aku lebih suka naik taksi online.
Aku bergegas turun dari mobil begitu Ayres memarkirnya di depan rumah. Kulihat Ayres membantu Li melepas sabuk pengaman. Segera aku menghampiri pintu bagian Li, dan membantunya turun.
"Terima kasih," kataku berusaha terlihat tulus dengan mengukir segaris senyum. Tulus penuh kepura-puraan yang aku yakin terbaca oleh Ayres, karena aku menyelipkan tatapan 'cepat pergi dari sini' di mataku.
Ayres mengangguk. Urung melepas sabuk pengamannya yang sudah setengah terbuka.
"Om, enggak mau mampir?" tawar Li dan itu terdengar sungguh-sungguh.
Ayres menatap ke arahku, meminta pendapat yang sama sekali tak kugubris, justru membuang pandangan ke arah lain.
"Lain kali ya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...