Aku menikahi Kayya! Akhirnya aku menikahi Kayya!
Hati kecilku menjerit-jerit kegirangan sambil menatap wajah cantik yang tengah tertidur di sisiku. Tadi dia berada dalam pelukan, dengan salah satu kaki yang mengait di pinggangku. Saat ini dia masih berada di sekitar dekapan, memberi ruang beberapa inci agar aku bisa bebas mengagumi kecantikan wajahnya. Wajah Kayya. Wajah istriku.
Menyadari kalau tubuhnya hanya menggunakan long torso dan celana dalam, maka aku menggapai selimut dengan jari-jari kaki, melemparnya hingga sampai di paha, lalu kutarik dengan salah satu tangan untuk menutupi tubuh Kayya hingga sebatas dada. Aku enggan menggerakkan tanganku yang lain, karena saat ini Kayya menjadikannya sebagai bantal, dan aku khawatir akan membuatnya terbangun.
Aku mengamati wajahnya dengan seksama. Dia sempurna sebagai seorang perempuan. Dan perempuan nan sempurna ini, mengijinkanku--lelaki yang mungkin akan cepat mati--untuk menjadi pasangan hidupnya, sampai maut memisahkan.
Ketika kata cepat mati itu berkelebat dalam otak, seketika itu juga aku mendesah miris.
Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Kayya?
Mengingat bagaimana tadi kaki-kakiku menjadi goyah ketika hendak mengangkatnya ke tempat tidur, sungguh membuatku cemas bukan kepalang. Aku khawatir bahwa aku hanya akan menjadi bebannya mulai saat ini.
Lagi, aku mendesah miris. Jari-jemari tanganku yang bebas, bergerak menelusuri bagian wajahnya. Mulai dari kening, pipi, lalu bibirnya. Berhenti di sana, karena mata indah itu perlahan mengerjap dan membuka dengan malas. Tapi kemudian menjadi bulat sempurna ketika menyadari bahwa aku sedang menatapnya.
Bibir berbelah tengah itu, sedikit mengerucut, memberikan sekilas kecupan pada jari telunjukku yang masih mendarat di sana.
Aku segera menarik jariku sambil tertawa kecil dan mencuil hidungnya dengan jari yang sama.
"Belum tidur?" tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru saja terbangun.
"Enggak bisa tidur," jawabku sambil tersenyum.
"Loh kenapa? Apa aku perlu minta resep obat tidur? Kamu 'kan butuh banyak istirahat." Dia terdengar cemas.
"Enggak perlu," tolakku. "Aku cuma enggak terbiasa tidur sama cewek cantik dan enggak bisa ngapa-ngapain. Kayaknya mubazir gitu ...." Meledeknya.
Kayya mencibir. Dia menciumku sekilas lalu bangkit. Matanya menjelajah dinding kamar.
"Sudah jam sebelas malam," katanya. "Artinya kita bakal melewati malam pertama kita sejam lagi."
Aku turut bangkit dari tidur dan bersila di depannya.
"Pakai baju, yuk!" seruku. Kayya mengerutkan kening.
"Kita harus tutup tengah malam kita dengan sesuatu yang romantis," kataku lagi.
"Aku harus bersiin muka dulu," katanya lalu menunduk menutup tubuhnya yang hanya terbalut long torso. "Dan ganti baju, mungkin?"
Aku menggeleng lalu turun dari tempat tidur. Membuka lemari besar kepunyaanku, di mana pakaian Kayya sudah bersanding di tiap rak dan gantungan baju yang sama. Aku menarik coat putih milikku dan menyerahkannnya pada Kayya.
"Pakai ini aja, biar cepet. Dan enggak perlu cuci muka. Kamu kelihatan cantik dan aku enggak bakal keberatan kalau nanti tiba-tiba muncul satu jerawat," ucapku sambil tersenyum miring.
Kayya menerima coat dariku dengan ragu.
"Tapi ...."
"Kita harus mengejar waktu, sebelum jam dua belas kita harus melakukan sesuatu yang menyenangkan!" tegasku tanpa ingin didebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYYA [Terbit]
General FictionKayya kehilangan masa mudanya karena hamil. Dia putus sekolah, diabaikan kekasihnya, tidak mampu mengejar mimpi, dan dibuang keluarganya. Kayya beruntung ada Osya yang iba dan membantunya terus hidup. Ketika dia mau memulai lembaran baru, seseorang...