11 : Kebingungan

1.1K 92 6
                                    

Reva dengan mahir menggerakan tangannya memoles foundation di wajah Raya, memberi bedak tipis, lipstick, hingga yang terakhir kini yaitu membuat eyeliner. Selesai, Reva sangat senang melihat hasil tangannya begitu cantik dan manis di Raya. Raya membuka matanya dan bercermin. Biasa, wajahnya datar.

"Ray kok lo biasa aja sih." Reva menyerngitkan dahinya.

"Ya-biasa aja, gue biasanya juga kyak gini beda ada tambahan eyeliner doang."

"Huh Raya ngeselin ah." Reva cemberut.

Raya terkekeh. "Becanda-becanda.. makasih ya adik gue paling cantik yang udah bikin gue juga cantik kyak gini gue sayang lo dek." Raya memeluk Reva.

Reva melepas pelukannya. "Idih Ray geli lo panggil gue adik hha. Aneh dengernya."

"Gue juga sih. Hha "

"Yaudah gih lo gak berangkat? Udah jam 7."

Raya melihat jam, benar sudah jam 7. Bergegas ia pakai tas selempangnya kemudian berjalan keluar rumah menelfon taksi.

"Kok lo gak minta jemput Mondy aja Ray?" Ucap Reva yang menemani kakaknya itu menunggu taksi di depan rumah.

"Enggak, gue yang gak mau. Biar surprise aja gitu ketemu di kafe." Jawab Raya tersenyum kecil.

Reva terkekeh. "Drama lo. Eh itu taksinya tuh."

Raya melihat arah telunjuk Reva. Didapati taksi biru yang mendatangi Raya. Raya masuk ke dalam taksi kemudian melambaikan tangan pada Reva. Reva membalas lambaian itu.

Butuh tiga puluh menit untuk Raya sampai di kafe tempat dia janjian dengan Mondy. Disana ia didatangi pelayan yang sudah tau itu Raya. Karena ternyata Mondy sudah memesan meja ditambah ada foto Raya di meja itu.

Raya tersenyum sangat senang. Terlihat sangat bahagia. Begitu duduk, ia langsung mengambil handphonenya memberi kabar Mondy.

Tiga puluh menit berlalu, Mondy belum juga sampai. Raya mengirim pesan lagi ke Mondy, juga ia telfon nomor Mondy berkali-kali. Nihil tak diangkat.

Raya tak enak sudah lama disana tapi belum memesan, akhirnya dia memesan makanan juga minuman terlebih dahulu sambil menunggu Mondy. "Mungkin macet parah." Pikirnya.

Lagi, tiga puluh menit berlalu. Mondy masih belum datang. Raya terus menelfon nomor cowok yang ia tunggu itu. Berharap setidaknya diangkat sekali. Entah sudah berapa kali ia telfon Mondy.

Raya tetap sabar, sambil minum dan makan makanan yang ia pesan. Sedikit kesal tapi tetap percaya kalau Mondy akan datang. Dengan terus ia menelfon Mondy tanpa henti.

Dilihat jamnya, pukul 20.30 . Raya mulai benar-benar kesal. Ia mengirim pesan lagi ke Mondy. Wajahnya sedikit resah. Terus ia telfon dan telfon nomor Mondy. Tak ada jawaban. Raya masih teguh, masih tetap menunggu. Ia memesan minum lagi, minumnya sudah habis. Juga memesan makanan ringan.

Raya menghiraukan pandangan orang-orang di sekitarnya. Pandangan penuh Tanya dan mengada-ngada, terutama pelayan yang sedari tadi memang melihat Raya sendirian menunggu Mondy tak datang-datang. Pandangan Iba, kasihan, dan semacamnya.

Raya pergi ke kamar mandi. Minum dua gelas dengan keadaan kesal membuat ia ingin pipis. Setelah itu ia berdiri di depan cermin. Membenarkarkan rambutnya yang sebenarnya tak berantakan. Kemudian mencuci tangannya, kembali memandang wajahnya di kaca. Membuat lekukan senyum dengan paksa. Menguatkan diri. Siapa tahu dari kamar mandi sudah ada Mondy duduk di sana. Raya siap mengomeli Mondy.

Tapi lagi-lagi nihil. Raya kembali ke meja itupun Mondy masih tak ada. Dilihatnya lagi jam menunjukkan pukul 21.30 . Kurang 30 menit lagi kafe ini tutup. Raya masih setia duduk dan menunggu Mondy. Di telfon lagi Mondy, lagi, lagi dan lagi.

Kali Kedua ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang