23 : Usaha Mondy

1.1K 131 17
                                    

Raya membuka kedua matanya. Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Hingga akhirnya benar-benar terbuka.

Turun dari kasur membuka tirai jendela. Lagi dan lagi, kain bertulis tinta warna biru cerah menempel di kaca luar.

Raya mengambil itu dan ia baca di dalam-sambil duduk di atas kasurnya.

Selamat pagi Raya.
Tirai jendelanya masih ketutup, kamu kesiangan ya?
Oh enggak, aku yang kepagian :D
Nyatanya aku nulis ini, diluar masih gelap.
Ray semalem aku mimpi.
Mimpi paling indah sekaligus menyakitkan.
Menyakitkan karena mimpi ini sangat susah aku gapai.
Indah karena mimpi ini buat aku serasa di surga.
Tau gak mimpi apa aku?
Aku mimpi kamu senyum ke aku :')
Susah aku gapai kan? Tapi bisa buat aku serasa di surga.

Raya membuang muka setelah membaca tulisan di kain yang lebih panjang dari kemarin itu. Menggigit bibir bawahnya-menahan air mata yang serasa mau tumpah.

Gadis itu tak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia sadar, jauh di titik kecil hatinya terbesit kata Rindu untuk Mondy.

Tapi ego dan emosi serta kebencian yang bercampur jadi satu membuat rasa rindunya kalah telak hingga hanya sakit yang bisa Raya rasakan.

Mata sendunya berubah menjadi mata tajam walau masih berlinang. Raya meremas kain itu-lagi. Kemudian ia lempar keluar-lagi.
Sambil berteriak "Lo pikir dengan nempelin kain dan tulisan curhatan lo itu bikin gue berubah hah?!!!!"

Entahlah, Raya melakukan itu ya karena memang itu yang ia ingin lakukan. Butuh waktu entah kapan untuk menghilangkan kalimat di benak Raya bahwa Mondy penyebab semuanya.

Kalau saja Mondy tidak kembali, tidak akan ada Hendra. Tidak akan ada Bella. Tidak akan ada yang membunuh Abah.

Kalimat itu terus saja terngiang di benak Raya saat mendengar dan melihat Mondy. Seakan ada Iblis yang sengaja selalu membisikkan kalimat itu di hati Raya. Maka jangan salahkan Raya, salahkan si Iblis.

Raya menyeka sudut-sudut matanya. Menyudahi tangis sakitnya. Menepuk-nepuk dada-menguatkan diri.

Raya mengangkat telfon di handphonenya yang berdering.

"Iya.."

.....

"Oke Jam 1 gue berangkat."

Raya menutup telfon singkat itu. Lalu bergegas mandi dan siap-siap.

Tepat pukul 1 Raya menutup pintu kamarnya. Tersentak kaget ketika melihat Reva yang juga baru menutup pintu kamarnya. Kamar Raya dan Reva berhadapan.

"Ray mau kemana?" Tanya Reva pada Raya yang terlihat seperti akan keluar. Jaket jeans biru terang di padukan celana jeans biru gelap dan rambut kuncir kuda.

"Lo-bukannya kuliah?" Raya balas tanya.

"Pembatalan. Jadi gue berangkat sore matkul kedua." "Lo mau kemana?"

"Oh, gue. Mau ngilangin stress." Jawab Raya santai.

Reva melangkah menyusul Raya yang berjalan menuju rak sepatu.

"Balap?" Reva menebak.

Raya masih sibuk memakai sneakers putih ber sol tebal 5 cm. Kemudian mengangguk. "He.em"

"Sirkuit mana? Boleh kali gue lihat."

"Lo kuliah aja gausah lihat-lihat." Raya berdiri.

Reva menahan lengan Raya. menatap curiga. "Bukan balapan resmi ya?" "Balapan liar ya lo?"

Kali Kedua ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang