Bagian 1

41.5K 821 16
                                    

Tari Arinda, begitu mereka memanggilku. Aku lahir tanggal 5 Oktober 2000. Anak pertama dari tiga bersaudara, dengan dua adik laki-laki yang menggemaskan. Menginjak umur ke-15 adalah saat yang mendebarkan bagiku. Satu langkah menuju pendewasaan diri berada di depan mata. Tari yang kekanak-kanakan harus segera ditinggalkan begitu memasuki gerbang sekolah menengah atas ini.

Hari ini aku resmi melaksanakan MOS di SMA Harapan Jaya. Perasaanku bercampur aduk. Orang bilang, masa paling indah adalah masa-masa SMA. Awalnya aku berharap demikian, sampai kesialan menimpa diriku.

Saat hendak masuk aula—untuk mengumpulkan semua barang bawaan yang ditugaskan oleh OSIS—aku terjatuh akibat menginjak tali sepatuku yang terlepas. Aku memejamkan mata lalu menghela napas. Sungguh, rasa sakit ini tak seberapa dibanding malu ketika beberapa peserta MOS yang berlarian menuju aula melihatku, meski setelah itu mereka lanjut berlari karena teriakan senior menggema, menyuruh agar semuanya cepat masuk.

Aku segera memunguti barang bawaan yang tadi berjatuhan dan memasukkannya ke tas yang dibuat dari keresek. Namun, aku terlambat menyadari kalau keresek ini sobek bagian bawahnya. Astaga!

Kulihat ke kanan kiri, sepi. Kembali, aku menatap barang-barangku yang berserakan. Bagaimana ini?

"Nih."

Aku mendongak untuk melihat seorang laki-laki yang berdiri di depanku dengan tangan memegang kantong keresek.

"Ambil," ucapnya lagi, membuatku langsung tersadar lalu segera menerima keresek itu.

Saat memasukkan semua barang bawaanku, laki-laki ini masih berdiri di tempat. Aku meliriknya dan mendapati dia tengah memperhatikanku.

Mungkin dia salah satu anggota OSIS di sini, pikirku.

Aku lanjut memunguti barang-barang yang masih tergeletak di lantai dan mengabaikan tentang siapa dia. Begitu selesai, aku langsung berterima kasih padanya.

"Sama-sama."

Tak ada yang aneh dari jawabannya, tapi tatapannya padaku sulit diartikan. Hanya saja aku tak begitu ambil pusing karena harus bergegas menuju aula.

***

Aku berdiri di depan gerbang sekolah. Cuaca hari ini panas sekali, seolah matahari berada tepat di atas kepala. Sekolah sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa panitia yang tengah bersih-bersih di sekitaran aula. Sudah satu jam lalu aku mengirim pesan kepada Rian—adikku—untuk menjemput, namun sampai sekarang dia belum juga menunjukkan batang hidungnya.

Aku menghela napas. Hari pertama MOS ini benar-benar melelahkan.

Aku mencoba meneleponnya, dan suara operator wanita mengatakan kalau nomor yang Anda tuju tidak aktif. Kembali aku meneleponnya, sampai suara deru motor dari arah belakang mendekat.

Aku menoleh untuk memastikan. Ternyata seorang laki-laki dengan motor sportnya mendekat ke arahku lalu dia melepas helm.

Ah! Laki-laki tadi pagi.

"Belum pulang?" tanyanya.

Aku termenung beberapa saat. "Belum, Kak. Nunggu jemputan," jawabku sedikit canggung, karena belum terlalu kenal dengan orang ini.

Tanpa sadar aku malah memperhatikannya. Matanya bagus. Matanya sayu, iris matanya cokelat, pandangannya terlihat hangat.

Begitu menyadari kalau dia menatapku dengan tatapan bingung, aku mengalihkan pandangan, meringis malu. Sedangkan dia terkekeh. Hanya, untungnya keadaan memalukan ini berakhir dengan kedatangan Rian.

Aku langsung pamit pada laki-laki ini. "Duluan, Kak."

***

Pukul sembilan malam, aku berbaring di atas kasur, menatap kosong langit-langit kamar. Entah mengapa aku malah melamunkan peristiwa tadi pagi, lebih tepatnya melamunkan laki-laki yang menolongku, dan entah mengapa, aku masih ingat dengan jelas raut wajahnya. Alisnya tebal, iris mata berwarna cokelat, hidungnya mancung, dan... cara dia terkekeh. Tapi yang paling aku suka adalah matanya yang berwarna cokelat itu.

Akumenepuk-nepuk pipiku supaya tersadar akan lamunan gila ini. Mungkin aku terlalulelah sehingga pikiranku ngalor-ngidul.

***

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang